Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BANGSA Indonesia dikenal karena kesopanannya, karena keramahannya. Bangsa ini kesohor lantaran menjunjung tata krama, meninggikan etika. Namun, itu dulu. Sekarang?
Sopan santun boleh jadi merupakan bagian dari DNA orang Indonesia. Suku apa pun, etnik apa saja, di negeri ini dikenal sopan, ramah, dan beretika dari sananya. Hal-hal yang baik itu telah menjadi karakter dalam melakoni hidup sehari-hari. Orang Sunda, misalnya, dikenal punya karakter periang, murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orang tua.
Hidup mereka erat dengan kesopanan, keramahan. Mereka biasanya tarapti (tertib), siloka (tak membuat orang lain tersinggung), someah (sopan), dan handap asor (merendah). Sifat dan perilaku yang berkebalikan dengan semua itu dianggap pamali, tabu untuk dilakukan.
Demikian halnya dengan orang Jawa. Mereka diajari hidup dengan memegang teguh unggah-ungguh, toto kromo, dalam baik berkomunikasi maupun bersosialisasi. Sopan santun, tata susila, dan etika menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka.
Di Sulawesi Selatan, memuliakan adat istiadat dan sopan santun kepada sesama ialah keharusan. Suku Bugis, Makassar, punya tabe yang merupakan budaya warisan leluhur untuk menghargai orang lain. Tabe ialah simbol penghormatan. Asal usulnya dari dari bahasa Sanskerta, ksantawya. Artinya salam atau maaf.
Suku Batak atau orang Indonesia Timur memang dikenal keras. Namun, percayalah hati mereka sebenarnya selembut salju dan penuh cinta. Seperti halnya orang Indonesia lainnya, mereka sopan, beretika pula.
Namun, sekali lagi, itu dulu. Sekarang, masih dimuliakankah sopan santun? Masih dijunjung tinggikah etika? Memang terlalu dini untuk membuat konklusi, terlalu prematur untuk menyimpulkan bahwa kepatuhan pada etika kian mahal, semakin langka. Namun, barangkali beragam contoh betapa semakin banyak orang yang mempertontonkan pengabaian etika bisa memberi gambaran.
Tak usah jauh-jauh kita menoleh ke belakang. Beberapa kejadian belakangan kiranya cukup untuk membuat kita gundah ihwal ke mana etika bangsa ini mengarah. Contoh pertama ditunjukkan anak muda bernama Arie Febriant. Dia bukan orang sembarangan. Dia karyawan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), salah satu BUMN papan atas idaman para calon mertua. Dia disebut-sebut lulusan UI, universitas top di negeri ini yang jadi dambaan setiap orangtua untuk anak mereka.
Dengan curriculum vitae seperti itu, Arie pasti anak pintar. Akan tetapi, kepintaran tak selalu linier dengan kesopanan. Dia menjadi samsak hujatan setelah video yang mengisahkan dirinya menabrak etika beredar di mana-mana. Dalam video yang viral, Arie dinarasikan memarkirkan mobilnya sembarangan di jalan hanya demi membeli gorengan hingga membuat kemacetan. Saat ditegur, bukannya menyadari kesalahan, bukannya meminta maaf, dia malah marah-marah. Dia bahkan meludah ke arah perempuan yang menegur.
Perilaku seperti itu jelas tidak elok, tak beretika. Lumrah publik bereaksi keras. Layak kalau perusahaan tempatnya bekerja kemudian bertindak. Pun, sudah sewajarnya jika Arie kemudian meminta maaf meski nasi telah menjadi kerak. Dia kiranya melupakan petuah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa menjadi orang berilmu memang penting, tetapi jauh lebih penting menjadi orang yang beradab.
Contoh terkini lebih parah lagi. Bukan anak muda seperti Arie, kali ini pelakunya orang tua. Dalam rekaman video, seorang bapak-bapak terlibat cekcok dengan pengendara lain. Cekcok di jalan raya memang sudah biasa. Yang tak biasa, bapak itu mengaku jenderal yang berdinas di Mabes TNI.
Semakin tak biasa, saat didesak, dia kemudian bilang kakaknya jenderal dengan menyebut nama jelas. Entah benar entah tidak nama yang terucap. Yang jelas, mobil yang dikendarai memang berpelat TNI. Usut punya usut, pelat nomor itu palsu. Bapak itu telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Sama seperti respons terhadap perilaku Arie, sang bapak yang ternyata seorang pengusaha itu dihujat habis-habisan. Dia dicap sebagai orang yang tak punya sopan santun, tak beretika, arogan, mentang-mentang. Publik marah, sangat marah, karena dia juga membawa nama TNI, institusi yang sangat mereka cintai.
Apa yang dipertontonkan Arie dan bapak itu hanyalah sedikit contoh dari banyaknya pengabaian etika. Apalagi dalam bermedia sosial. Sekadar pengingat, pada 2020 Microsoft melalui survei Digital Civility Index (DCI) menempatkan Indonesia di urutan ketiga daftar negara paling tidak sopan, di bawah Afrika Selatan dan Rusia. Mencemaskan, bukan?
Ya, kiranya kita patut cemas. Lebih-lebih lagi, etika dan adab seolah tak lagi ada harganya di hadapan para pemimpin dan calon pemimpin. Pemilu yang baru lewat menguatkan asumsi itu. Celakanya lagi, alih-alih dijauhi, orang-orang seperti itu justru didukung, diglorifikasi. Kontras betul dengan penyikapan terhadap perkara Arie dan semacamnya. Sungguh menyedihkan.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved