Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DI banyak tempat, orang dilarang berisik. Obral suara ketika orang lain butuh ketenangan, tatkala situasi dan kondisi menolak kebisingan, memang tak elok dilakukan.
Di perpustakaan, berisik adalah musuh utama, barang yang paling diharamkan. Maka, tak mengherankan jika di berbagai sudutnya ditempel stiker atau papan pengumuman bertuliskan ‘Harap Tenang, Jangan Berisik’, komplet dengan ilustrasi seseorang menempelkan telunjuk di ujung bibirnya. Siapa pun yang menyambangi perpustakaan memang mendambakan ketenangan untuk konsentrasi, tak terganggu sana-sini.
Di tempat ibadah, orang juga dilarang berisik. Mereka yang datang ke rumah Tuhan butuh kekhusyukan sehingga suara-suara yang tak perlu tidak diperlukan. Pun dengan di kelas atau ruang pembelajaran. Bahkan, di lingkungan permukiman terikat hukum tak tertulis dilarang keras berisik. Kalau ada yang nekat, siap-siap saja kena damprat. Kalau tidak terima, bersiaplah ribut antartetangga.
Kenapa berisik dilarang? Salah satu alasannya terkait dengan budaya sopan santun. Di Jepang, orang yang banyak bersuara di tempat umum berarti tak punya rasa hormat kepada orang lain. Ia mengingkari budaya wa atau harmoni yang menekankan keseimbangan dan ketertiban dalam interaksi sosial.
Orang Jepang sangat meninggikan budaya itu. Di Indonesia juga. Di sini ada budaya tepo sliro, tenggang rasa, mengindahkan perasaan orang lain.
Berisik dilarang juga karena bisa merusak kesehatan baik fisik maupun mental. Dalam penelitiannya, Markus Mueller-Trapet dari Dewan Riset Nasional Kanada menyimpulkan, suara berisik dapat menyebabkan masalah kardiovaskular dan gangguan tidur. Di antara suara yang sangat mengganggu itu ialah tetangga yang berisik.
Oleh karena itu, sebisa mungkin hindarilah berisik di tempat-tempat publik, bahkan di rumah sendiri jika kira-kira bisa mengusik tetangga. Akan tetapi, sebenarnya berisik tidak selamanya buruk. Berisik terkadang baik, bahkan perlu. Orang tak boleh diam ketika situasi dan kondisi butuh suara lantang. Tujuannya, agar orang lain tetap terjaga, tidak terlena. Saat ini, negeri ini pun butuh orang-orang berisik.
Tentu, bukan berisik asal berisik, tetapi berisik yang berisi, yang berpenetrasi untuk terus mengingatkan nasib buruk demokrasi. Banyak yang berucap, demokrasi bagai kepiting dalam rebusan, dalam bahaya. Tidak sedikit yang bilang, demokrasi sedang menuju kematian lantaran manuver-manuver brutal, muslihat-muslihat jahat, di Pemilu 2024.
Tak bosan kiranya saya mengutip sejumlah kalangan bahwa pemilu kali ini adalah yang paling buruk, paling tak bermutu. Hukum dikangkangi, aturan diakal-akali, kekuasaan dikapitalisasi. Celakanya lagi, para perusak demokrasi, penabrak etika, mendapat dukungan luar biasa. Sungguh, saya tak habis pikir memikirkan pola pikir mereka.
Pada situasi itulah, orang-orang yang punya kelebihan urat leher, yang suka bersuara kencang menentang penyimpangan dibutuhkan. Terlebih ketika mereka yang semestinya menyehatkan justru membuat sakit demokrasi. Apalagi, mereka yang seharusnya sadar bahwa demokrasi butuh pertolongan darurat malah bersemangat membuatnya sekarat.
Pemilu kali ini mempertontonkan anomali, kontradiksi, inkonsistensi. Banyak yang dulu gigih, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk memperjuangkan reformasi, berubah wajah. Banyak yang dulu menjadi pengingat, kini menjadi penjilat penguasa atau para calon penguasa.
Namun, pemilu kali ini juga menyuguhkan epos, wiracarita, cerita kepahlawanan. Banyak yang sejak dulu prodemokrasi, paling tidak sampai detik ini tak surut untuk terus membelanya. Rocky Gerung dan Eep Saifulloh Fatah dua di antaranya. Ada pula aktor dan aktris film dokumenter Dirty Vote: Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, dan Bivitri Susanti.
Masih banyak yang lain. Para guru besar lintas universitas, umpamanya. Para aktivis demokrasi dan antikorupsi yang baru-baru ini menyurati ketua umum parpol agar seteguh karang menggulirkan hak angket penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu, contohnya. Para demonstran di berbagai tempat menolak pemilu curang, amsalnya.
Mereka orang-orang yang suka berisik, tetapi berisik yang baik. Banyak pihak, setidaknya saya, menaruh hormat kepada mereka. Keep talking, begitu prinsip mereka. Terus bersuara, itulah komitmennya, karena ancaman terhadap demokrasi kiranya belum segera berkesudahan.
Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama pernah bilang, “Our democracy is threatened whenever we take it for granted (Demokrasi kita terancam setiap kali kita mengabaikannya).” Kita memang tak boleh abai agar demokrasi lepas dari ancaman.
Mumpung lagi bulan puasa, izinkan saya mengutip ajaran agama soal bagaimana kita seharusnya menyikapi kemungkaran. Diriwayatkan, “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”
Kemungkaran demokrasi sedang menjadi-jadi. Ia harus diubah, harus dihentikan, dengan segala daya upaya, termasuk dengan lisan, terus berisik, terus bersuara.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved