Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KATA banyak orang, Megawati Soekarnoputri adalah pejuang demokrasi. Tidak sedikit yang bilang, Presiden ke-5 RI itu punya keteguhan luar dalam untuk menjaga konstitusi. Benarkah?
Bahwa Bu Mega adalah seorang demokrat, pejuang demokrasi, bukanlah klaim asal jadi. Label apik itu disematkan juga bukan oleh orang sembarangan. Ada Jusuf Kalla, misalnya. Wapres ke-10 dan ke-12 RI ini menyebut Megawati sebagai pemimpin negara paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Pada pembukaan Habibie Democracy Forum di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (15/11/2023), JK berujar, "Ibu Mega sebenarnya di antara semuanya yang paling demokratis.''
Menurut Kalla, pada Pemilu 2004 terdapat momentum bagi Megawati untuk memakai kekuasaan demi memenangi pilpres, mengingat dirinya masih menjabat sebagai presiden. “Namun, dia tidak memakai kekuasaan untuk berkuasa sehingga saya dan Pak SBY bisa mengalahkan Bu Mega. Sekiranya pakai kekuasaan, kita pasti kalah.”
Presiden Jokowi tak ketinggalan. Dia juga mengakui Megawati sebagai pejuang demokrasi. Pengakuan itu bahkan diunggah di situs Kementerian Sekretarian Negara RI. “Ya, kan jelas, ya, bahwa Ibu Mega itu kan pejuang demokrasi. Artinya apa? Yang tidak demokratis, yang mengganggu, pasti beliau lawan.” Begitu dulu Jokowi berucap.
Sama halnya di mancanegara. Tak cuma pemimpin negara, akademisi, universitas, kalangan biasa juga kagum kepada Megawati. Salah satunya Kim Sung-soo, seorang pengusaha di Provinsi Jeju, Korea Selatan.
Bagi Kim Sung-soo, Megawati adalah sosok politikus tangguh dan salah satu pendekar demokrasi. Saking cintanya, Kim Sung-soo membangun kebun raya yang dinamai Megawati Soekarnoputri. Letaknya di resor kesehatan, luasnya 100 ribu m2, dikelilingi hutan cukup lebat.
Itu hanya satu dari sekian banyak penghargaan buat Mega. Masih ada berderet penghargaan lain. Sedikitnya 10 gelar doktor honoris causa dari universitas dalam dan luar negeri dia dapat. Belum lagi gelar profesor kehormatan. Tak cuma soal demokrasi dan kepemimpinan, Megawati akrab pula dengan penghargaan jenis lain. Mulai dari Korea Selatan hingga Rusia, dari BMKG hingga Paskibraka. Pokoknya komplet.
Saya bukan pengidola Bu Mega, bukan pula pendukung partainya. Tapi, soal demokrasi, saya termasuk yang angkat topi. Lepas dari masih adanya kekurangan di sana-sini, predikat pejuang demokrasi, pendekar demokrasi yang disematkan, kiranya tak terlalu mengada-ada.
Ketika Megawati menolak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang ramai diwacanakan di ujung pemerintahan Jokowi, dia unjuk bukti sebagai demokrat sejati, penjunjung derajat konstitusi. Kepada Jokowi, Mega sudah memberikan segalanya. Akan tetapi, soal konstitusi, dia tak mau kompromi.
Tatkala Megawati tak memaksakan anaknya, Puan Maharani, sebagai capres, dia memperlihatkan spirit demokrasi. Bolehlah kita mengapresiasi.
Kini, berapa karat kadar demokrasi Megawati kembali diuji. Ujian itu terkait dengan seberapa besar komitmennya dalam menyikapi ancaman demokrasi di Pemilu 2024. Materi soalnya menyangkut hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu.
Sulit disangkal, pemilu kali ini sarat dengan dugaan kecurangan, pelanggaran, ketidaknetralan, yang tak cuma dilakukan para kontestan, tapi juga penyelenggara negara. Tak hanya oleh perangkat desa, tapi juga pemimpin tertinggi negara. Pemilu paling buruk, paling brutal, itulah istilah para pegiat demokrasi.
Ibarat kereta, hak angket yang diwacanakan capres PDIP Ganjar Pranowo, sudah tersedia gerbong yang siap jalan. Partai-partai pengusung Anies Baswedan, yakni NasDem, PKS, dan PKB, mendukung dan sepakat untuk menggulirkan hak penyelidikan itu.
Namun, apa gunanya gerbong tersedia, tapi lokomotifnya entah di mana. Lokomotif itu adalah PDIP, partai terbesar di parlemen. Masinisnya adalah Megawati. Di bawah kendalinyalah PDIP akan bergerak ke mana. Mendukung hak angket bisa dan itu yang publik, termasuk saya, harapkan. Menolaknya pun bisa. Namanya juga politik.
Tanpa PDIP, hak angket memang bisa diinisiasi karena syaratnya minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Partai-partai pengusung pasangan Amin sudah siap melakukannya. Tapi apa faedahnya jika kemudian ia tumbang di tengah jalan, tak lolos di paripurna karena tak didukung partai pemilik kursi terbanyak.
Jika seluruh partai pengusung Ganjar dan Anies bersatu menggulirkan hak angket, kekuatan mereka 314 dari 575 kursi. Jumlah ini mayoritas.
Peluang untuk menang teramat besar sebab kubu sebelah, pengusung Prabowo, cuma punya 261 kursi. Tapi ya itu tadi, ujung-ujungnya tergantung Megawati.
Julukan pejuang, pendekar demokrasi itu berat. Tidak semua orang layak dan sanggup menyandangnya. Pendekar adalah orang yang punya kekuatan, lalu menggunakannya untuk membela kebenaran, membela yang lemah dan tertindas. Pendekar demokrasi berarti pembela demokrasi, penentang para perusak demokrasi.
Di pemilu kali ini, demokrasi katanya sedang ditindas habis-habisan. Sebagai pejuang, sebagai pendekar demokrasi, Megawati semestinya segera turun tangan, menunjukkan ketegasannya kepada rakyat. Jangan biarkan hak angket bak kereta mangkrak di stasiun pemberangkatan. Jangan biarkan penumpang terlalu lama menunggu.
Gak asyik, ah, kader PDIP terbaik yang memulai, masak ketua umumnya yang mengakhiri. Gak seru, ah, kalau pejuang demokrasi kelihatan gamang melihat demokrasi diantarkan ke peti mati. Bu Mega, tunggu apa lagi?
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved