Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SIAPA yang seharusnya memenangi kontestasi demokrasi bernama pemilihan umum (pemilu)? Kalau ini ditanyakan kepada para pendukung garis keras parpol atau capres-cawapres, jawabannya sudah pasti: yang harus menang ialah parpol atau capres-cawapres yang mereka dukung. Jangan ditanya alasannya, karena terkadang mereka bahkan tidak perlu alasan untuk urusan dukung mendukung itu.
Akan tetapi, kalau kita bicara pada tataran ideal, dengan mengacu pada prinsip demokrasi secara konseptual, semestinya yang menjadi pemenang dari sebuah proses pemilu ialah rakyat. Pemilu seharusnya merupakan perwujudan daulat rakyat. Maka, produk yang dihasilkan pemilu, entah itu eksekutif ataupun legislatif, haruslah menjadi cerminan kemenangan rakyat.
Warren G Harris, seorang politikus Amerika Serikat sekaligus veteran Perang Dunia II, pernah mendefinisikan pemilu adalah sebuah seruan ketika warga negara memilih pejabat pemerintah dan memutuskan apa yang mereka ingin pemerintah lakukan. Dalam pengambilan keputusan ini, warga negara menentukan hak apa yang ingin mereka miliki dan pertahankan.
Jelas, kalau merujuk pada pengertian itu, esensi pemilu adalah kemenangan rakyat. Pemilu bukan sekadar hitung-hitungan elektoral sehingga seolah-olah seseorang atau kelompok yang unggul dalam penghitungan suara pemilu boleh menjalankan kekuasaan tanpa memedulikan kepentingan dan suara rakyat.
Namun, tentu, untuk bisa sampai tahap ideal itu butuh prasyarat yang tidak mudah. Dua yang utama dari sejumlah syarat tersebut ialah birokrasi pemerintahan yang netral dan penyelenggara pemilu yang kompeten dan berintegritas.
Sayangnya, pada Pemilu 2024 yang kemarin sudah memasuki tahap pemungutan suara, dua syarat itu gagal ditunaikan. Sedari awal, publik dipertontonkan betapa mudahnya penyelenggara negara menerabas netralitas. Birokrasi pemerintah secara semena-mena dilibatkan, bahkan secara terang-terangan, dalam proses pemenangan peserta pemilu tertentu.
Hulunya tentu ada di pucuk pimpinan pemerintahan, yakni Presiden Joko Widodo, yang sepanjang proses pemilu kali ini tak henti-hentinya menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada salah satu kandidat. Serupa jargon hilirisasi yang terus ia dengung-dengungkan, Jokowi menghilirkan ketidaknetralannya itu ke jajaran di bawahnya.
Diawali dengan ketidakpeduliannya terhadap etika demokrasi dengan hobi cawe-cawenya, terciptalah gerakan-gerakan senyap yang diinisiasi pucuk penguasa dan dieksekusi dengan masif oleh aparat-aparat di bawahnya. Tidak jarang Pak Presiden pun turun langsung sebagai eksekutor. Tujuannya jelas, untuk menggiring suara dan dukungan masyarakat kepada kandidat yang disokong Presiden.
Celakanya, di saat yang sama, syarat utama yang kedua juga tidak terengkuh. Kompetensi dan integritas penyelenggara pemilu kerap dipertanyakan. Terlebih setelah ada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan beberapa anggota KPU melakukan pelanggaran etika dengan menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dalam Pemilu 2024.
Lalu, lihatlah kemarin, ketika sejumlah modus kecurangan di tempat pemungutan suara (TPS) terkuak melalui partisipasi aktif publik melaporkan berbagai keanehan dan tindakan kecurangan itu ke kanal-kanal pelaporan pemilu maupun ke akun media sosial masing-masing. Bukankah itu membuktikan bahwa kompetensi KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas pemilu patut kita pertanyakan?
Dengan prosesnya yang penuh kecurangan dan pelanggaran itu, tidak sedikit pakar yang menilai pemilu kali ini cacat dan hasilnya tidak legitimate. Benar tidaknya penilaian itu tentu saja masih bisa diperdebatkan. Namun, jangan lupa, demokrasi kita pun pernah dinilai cacat (flawed democracy) oleh riset Economist Intelligence Unit (EIU) yang dilakukan tahun lalu. Pemilu sebagai salah satu variabelnya tentu punya andil dalam kecacatan demokrasi tersebut.
Lantas, dengan kondisi seperti itu, apakah rakyat tetap menjadi pemenang pemilu? Ketika hanya keinginan meraih kekuasaan yang ada dalam pikiran mereka, apakah kepentingan rakyat menjadi variabel penting dalam laku mereka menjalani proses pemilu dan demokrasi? Di saat yang mereka kejar hanya perolehan elektoral sembari meminggirkan adab dan etika, apakah ada jaminan mereka tidak akan membungkam suara rakyat ketika berkuasa?
Pertanyaan-pertanyaan tadi semoga hanya menjadi kekhawatiran saya yang tak beralasan. Sekadar kecemasan yang mengada-ada. Sebab, kalau itu benar, tidak terbayangkan berbahayanya. Rakyat, sekali lagi, akan menjadi pihak yang kalah. Dan pemenangnya, lagi-lagi, sekelompok kecil nan kuat yang selama ini orang banyak menyebut mereka sebagai oligarki.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved