Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
FRASA 'desakralisasi kekuasaan' kini muncul lagi. Seorang kawan menggunakan istilah itu saat menanggapi isu pemakzulan Presiden Joko Widodo. Sang kawan tidak setuju dengan agenda pemakzulan itu. Baginya, gerakan itu muspra, tidak efektif, untuk sebuah usia kekuasaan yang tinggal hitungan bulan.
Kendati tidak setuju dengan gerakan pemakzulan, sang teman tidak menolak sepenuhnya gerakan sejumlah aktivis sipil itu. Menurut dia, gerakan tersebut bagus untuk mengingatkan penguasa. Ia semacam terapi kejut di tengah kekuasaan yang hampir absolut. "Gerakan itu bagus untuk mendesakralisasi Jokowi yang oleh pengagumnya diperlakukan seperti dewa," ungkapnya.
Saya jadi ingat saat Gus Dur menjadi Presiden RI. Saat itu, Istana Kepresidenan terbuka untuk masyarakat, pegiat budaya, pekerja seni, tokoh agama, dan lain-lain. Mereka bebas menggunakan pakaian yang biasa mereka kenakan, asal rapi. Ada orang pakai sarung, kaus, celana jins, bersendal bakiak, sepatu kets, pokoknya nyaman.
Segala petatah-petitih dan protokoler keistanaan luruh. Ketegangan melumer. Masyarakat bisa bercanda dengan presidennya tanpa rikuh. Lalu, sejumlah media menyebutkan bahwa Gus Dur telah mendesakralisasi istana dari yang kaku dan serbatertib menjadi lebih lumer, lebih fleksibel.
Pemandangan serupa terjadi saat periode pertama pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi. Para youtuber, kreator konten, pelawak, komedian, kelompok tani, jurnalis, hingga ibu-ibu majelis taklim bisa bebas bercengkerama dengan Presiden. Media pun menulis bahwa Jokowi meneruskan desakralisasi istana yang dirintis Gus Dur.
Namun, belakangan, justru yang berkembang ialah desakralisasi terhadap kekuasaan Jokowi. Mereka yang menggaungkan istilah ini menganggap bahwa Jokowi sudah terseret jauh dalam godaan meneruskan kekuasaannya. Mulai dari pelolosan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres, Jokowi dianggap kian larut dalam cawe-cawe untuk mengegolkan anaknya menjadi wapres beneran, bukan sekadar cawapres.
Banyak yang menyebut: Jokowi sekarang bukan Jokowi yang dulu. Jokowi yang sekarang, kata mereka, ialah Jokowi yang mengalami 'defisit cinta'. Seperti kata psikolog Carl Gustav Jung, "Di mana kekuasaan dominan, di situ ada defisit cinta. Yang satu jadi bayang-bayang yang lain.”
Dalam rumus Gustav Jung, kekuasaan bisa menjadi sumber dominan bagi kehidupan sosial masyarakat untuk terjangkit problem berat. Tidak ada problem berat di tengah masyarakat yang tidak bersumber dari kekuasaan. Kekuasaan menjadi penentu desain kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ketika ditemukan banyak kondisi ketidakberdayaan sosial, misalnya, maka ini mengindikasikan adanya ulah salah dari elemen kekuasaan. Jika penyakit bersumber dari hubungan personal atau sekelompok orang, akibatnya masih bersifat khusus dan terbatas. Tapi, kalau yang menyebarkan penyakit itu penguasa, apalagi pucuk tertinggi kekuasaan, akibatnya bisa masif, eksesif, dan akseleratif.
Penyakit 'mengerikan' itu bernama penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Aspek mengerikannya bukan semata pada dampak terjadinya penyalahgunaan, melainkan secara etis praktik ini mencerminkan pola 'pengamputasian' dan 'penyalahgunaan' amanat yang membuat etika kehilangan fungsi sakralitasnya.
Penyalahgunaan kekuasaan merupakan bukti nyata ketidakcintaan punggawa negara kepada rakyat. Rakyat dipermainkan dengan banyak janji yang ditabur di awal kekuasaan, tapi diingkari di tengah atau di pengujung kekuasaan. Kondisi seperti itulah yang beberapa waktu terakhir dirasakan. Bahkan, ada yang bilang: kecintaan sudah bersalin rupa menjadi pengkhianatan.
Maka, muncul perlawanan, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Yang diam-diam, bersiap untuk melawan penggunaan kekuasaan yang amat eksesif dengan cara tidak memilih calon yang di-endorse kekuasaan. Ada juga yang memilih dengan cara berpihak kepada calon yang radiusnya paling jauh dari kekuasaan. Kelompok ini bahkan rela bergotong royong, merogoh kocek pribadi, demi mengampanyekan calon yang menawarkan perubahan dan melawan kejumudan.
Yang berada di titik paling ekstrem, mencoba menawarkan proses pemakzulan. Kelompok ini tidak peduli dengan kerumitan pemakzulan, yang penting ide itu direspons banyak kalangan. Mereka tidak melulu menjatuhkan kekuasaan saat ini, tapi setidaknya tengah berikhtiar keras mendesakralisasi kekuasaan.
Hanya kejujuran, permainan yang adil, netralitas kekuasaan yang sesungguhnyalah yang akan mengembalikan napas cinta kepada rakyat. Tanpa itu, desakralisasi akan terus terjadi, menggelembung, bahkan bisa sulit dibendung.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved