Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
APA hal yang paling mencemari lingkungan belakangan ini? Seorang kawan tiba-tiba menodong saya dengan pertanyaan sembari memasang mimik serius dan terlihat jengkel. Karena dia tampak serius, saya pun coba memikirkan jawabannya dengan tak kalah serius.
Namun, sebelum saya sempat menjawab, dia sudah nyeletuk duluan. "Jawabannya itu," kata dia sambil menunjuk ke arah jajaran spanduk, bendera, dan baliho kampanye yang terpasang di pinggir jalan, di tengah pembatas jalur jalan, dan bahkan di sisi-sisi luar jembatan penyeberangan orang (JPO).
Rupanya si kawan tadi tak sungguh-sungguh berniat bertanya. Dia cuma ingin memuntahkan kemuakannya melihat pemandangan tak sedap yang terpampang di depan mata kami. Saat itu kami sedang ngopi di sebuah kedai kopi di sisi jalan lumayan besar di bilangan Jakarta Selatan. Di sepanjang ruas jalan itu, ratusan, bahkan mungkin ribuan alat peraga kampanye (APK) terpasang tak beraturan.
Ada bendera parpol dengan bambu yang diikat seadanya di pagar pembatas jalan. Ada poster calon anggota legislatif yang dipaku di batang pohon, ada pula baliho capres-cawapres yang posisinya sudah agak doyong karena bambu penyangganya tak kuat menahan beban.
Sama sekali enggak ada indah-indahnya. Berantakan. Asal pasang, asal tempel, asal paku saja, yang penting wajahnya terpampang. Jadi, bohong kalau ada yang mengatakan pemasangan alat-alat peraga para peserta pemilu itu tidak membuat mata sepet dan hati dongkol. Malah, saking jengkelnya ada yang memelesetkan kepanjangan APK menjadi alat perusak keindahan.
Selain itu, karena pemasangannya yang tidak proper akibat ketiadaan standar teknis, deretan APK itu membahayakan pengguna jalan. Kisah dua pengendara sepeda motor di Kebumen, Jawa Tengah, yang mesti menanggung celaka gara-gara tertimpa baliho kampanye yang roboh, beberapa waktu lalu, hanya salah satu contoh.
Sesungguhnya teramat aneh, di era digital seperti sekarang, di zaman ketika kecerdasan buatan (artificial intelligence) sudah begitu merasuk ke kehidupan manusia, pola kampanye model kuno seperti itu ternyata masih ada. Terlebih untuk Pemilu 2024 yang sebagian besar pemilihnya nanti generasi muda, terutama milenial dan gen Z, yang diasosiasikan sebagai generasi melek teknologi, generasi kreatif; masak, sih, cara-cara lama nan usang bin norak seperti itu masih saja dipakai?
Alat peraga kampanye sejatinya memiliki peranan penting dalam menyosialisasikan parpol dan kontestan pemilu. Sejujurnya, tidak banyak kontestan pemilu, terutama caleg, yang baik nama maupun wajahnya dikenal publik. Dengan alat peraga itulah sebetulnya mereka punya wadah untuk mengenalkan diri sekaligus 'menjual diri'.
Namun, coba kita ambil analogi pemasaran produk. Kalau dalam kampanye pemasaran produk itu yang dipakai ialah cara dan alat peraga yang enggak up to date, apalagi yang norak dan malah bikin konsumen geram dan muak, apakah kira-kira produk itu bakal laku? Tentu saja tidak. Yang terjadi justru bisa sebaliknya, konsumen akan menandai produk yang dikampanyekan dengan serampangan itu untuk tidak dibeli.
Kiranya benar kata pakar politik dari Amerika Serikat, Roger Berkowitz, "Pada kesuksesan setiap kampanye selalu hadir para perancang pesan yang sensitif dan kreatif." Itu bisa diartikan, nihilnya kreativitas dan sensitivitas dalam kampanye akan menyebabkan pesannya tidak tersampaikan, malah mungkin tercampakkan.
Karena itu, semestinya semua kontestan pemilu sadar bahwa yang mereka lakukan selama ini, menjual diri dengan membombardir area-area publik dengan APK model usang itu, tidak akan efektif. Justru bisa menjadi blunder karena menciptakan kebencian pada sebagian publik.
Akan tetapi, yang lucu sebetulnya bukan cuma kontestan pemilu. Respons pemerintah kadang-kadang juga tak kalah melawak. Bayangkan saja ketika keindahan satu wilayah dirusak sebaran APK yang tak beraturan, pemerintah daerah malah terkesan mendiamkan. Tak ada teguran, apalagi sanksi.
Lebih aneh lagi ketika APK yang merusak dibiarkan, pada saat yang sama ada APK yang kreatif, tampilannya menarik, dan tidak menimbulkan kerusakan malah diturunkan alias disetop. Kasus penghentian kampanye capres Anies Baswedan melalui videotron di Jakarta dan Bekasi, tempo hari, kian mengonfirmasi kelucuan dan keanehan itu.
Betul, langkah dan pergerakan di papan catur politik memang sering kali mengejutkan dan aneh. Namun, mbok, ya, jangan begitu-begitu amat. Ada APK yang lebih pantas untuk dicopot, ada kontestan pemilu yang layak disanksi karena melanggar aturan pemasangan, lha ini, kok, APK yang jelas-jelas tak bermasalah dan tak menimbulkan masalah malah di-take down. Ajaib.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved