Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
AKHIR-AKHIR ini kian banyak saja orang-orang yang mencemaskan nasib demokrasi di Tanah Air. Lebih-lebih di kalangan aktivis civil society, demokrasi kita dinilai berada dalam kondisi gawat hingga gawat darurat, alias gawat banget.
Di kalangan aktivis gerakan masyarakat sipil ini, nasib demokrasi digambarkan dengan bahasa menyeramkan. Mulai dari frasa yang agak ringan seperti 'demokrasi dirusak', 'demokrasi dipukul mundur', 'demokrasi terancam roboh', hingga kalimat yang sadis seperti 'demokrasi di ujung kematian' atau 'demokrasi mati suri'.
Sikap skeptis muncul bersamaan dengan kian sulitnya menemukan negarawan di Republik ini. Sudah dalam satu dekade bahkan berbagai analis politik dan pemikir kebangsaan menyebut: negeri ini surplus politisi, tapi defisit negarawan.
Situasinya semakin kentara ketika pemimpin yang dulunya dikira benar-benar siap menjadi negarawan, ternyata di ujung kekuasaannya tenggelam dalam politik praktis yang menggenggam erat-erat kekuasaannya. Bahkan, terkesan sangat takut melepaskan kekuasaannya sehingga mesti 'menunjuk' siapa yang akan melestarikan kekuasaannya itu.
Di kondisi seperti itulah, skeptisisme akan masa depan indah demokrasi justru kian mekar. Ketidakpercayaan membuncah, berkelindan dengan rasa setengah frustrasi melihat, menyelami, dan menjalani keadaan. Jangankan bicara etika yang posisinya luhur nan mulia, bicara menjalankan aturan main sesuai bunyi teksnya saja, publik sudah amat sulit mendapatkan contohnya di kalangan pemimpin.
Harus diakui hari ini kita tengah mengalami masa-masa defisit negarawan dan surplus politikus yang amat parah itu. Rakyat inginnya negeri ini surplus negarawan dan surplus politisi. Keduanya tentu saja berbeda. Yang pertama berpikir jangka panjang, visioner, dan lebih mendahulukan kepentingan negara, sedangkan politikus justru kebalikannya.
Mengapa rakyat amat mendamba itu? Karena di tangan negarawan, politik menjadi siasat untuk membangun jalan keadaban dan menelurkan sekian kebijakan yang berpihak kepada khalayak. Sebaliknya bagi sebagian politikus, politik sekadar bertujuan untuk menggapai kekuasaan, tangga memburu takhta dalam rangka meraih sesuatu yang bersifat kebendaan dengan menjadikan kepentingan kelompok, termasuk keluarga, sebagai kiblatnya.
Negeri ini amat kesulitan menemukan pemimpin yang asketis, yakni yang punya paham dan sikap mental yang mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Jika diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, asketisme berarti cerminan dari seorang negarawan yang sederhana, jujur, dan rela berkorban bagi bangsa dan negaranya.
Dewasa ini, pemimpin dan pejabat publik kita seolah kehilangan arah dan tujuan dalam menakhodai bangsa. Bukan sikap dan nilai asketisme yang menjadi pegangan, melainkan sikap egosentrisme yang kerap kali dipertontonkan. Jauh dari apa yang kerap ditabalkan kepada 'The Grand Old' Haji Agus Salim, yakni leiden is lijden, 'memimpin itu menderita'. Yang ada sekarang: 'leiden is genieten', memimpin itu menikmati.
Dulu kita punya para pemimpin yang menderita, rela berkorban, pula sederhana. Ada Bung Hatta yang, meski wakil presiden, tidak sanggup membeli sepatu impian bermerek Bally. Ada M Natsir, perdana menteri dan pemimpin Partai Masyumi, yang rela mengenakan jas tambalan di forum-forum internasional karena tidak memiliki kemewahan untuk membeli jas baru.
Di era kekinian, hal serupa masih bisa ditemui di negeri tetangga. Perdana Menteri Thailand Chuan Lekpai pada periode pertama jabatannya, 23 September 1992 hingga 13 Juli 1995, oleh media-media massa dikisahkan sebagai politikus yang asketis. Pada periode kedua jabatannya sepanjang 9 November 1997 hingga 9 Februari 2001, Lekpai yang tinggal sendiri bahkan dilukiskan oleh majalah Time sebagai politikus yang menyetik alias memasang sendiri kancing jasnya yang copot.
Gambaran kesederhanaan itu membersitkan pesan kepada publik bahwa sang pemimpin ialah sosok yang bukan saja mencintai rakyat kebanyakan, tapi juga menghayati dan menjalankan kehidupan yang bersahaja. Mereka autentik. Mereka bicara lantang soal etika, sekaligus amat ketat dalam menjalankannya.
Sekarang, kebalikannya. Menolak menggunakan etika sembari terang-terangan mengutak-atik aturan. Ada yang bilang, abuse of power sudah dipraktikkan secara telanjang. Politik pembelahan terjadi lagi, tapi isunya menjadi 'yang bersama kekuasaan' melawan 'yang tidak lagi bersama kekuasaan'.
'Yang bersama kekuasaan' bisa menikmati fasilitas, peduli setan dengan netralitas, dan tidak lagi menghargai demokrasi. Adapun 'yang tidak lagi dalam barisan kekuasaan' mesti bersiap dengan risiko dianaktirikan, dipotong akses-aksesnya, direcoki dengan masalah remeh-temeh yang bisa berujung ke masalah hukum.
Kekuasaan yang sudah di ujung senja memang kerap membingungkan, bahkan misterius. Tidak ada lagi leiden is lijden. Karena sudah mereguk manisnya kekuasaan, kredonya pun berubah menjadi 'leiden is genieten'.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved