Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DALAM pertandingan apa pun, yang namanya wasit atau lembaga pengadil pasti selalu ada. Keberadaannya wajib. Ia komponen penting untuk mengawal pertandingan berjalan lancar dan, yang terpenting, menjunjung fair play.
Pemilihan umum (pemilu) juga bisa diibaratkan pertandingan. Pemilu ialah arena kontestasi, kompetisi memperebutkan suara rakyat dengan batasan dan aturan ketat. Pemilu bukan pertarungan bebas yang apa pun mungkin dilakukan demi meraup kemenangan. Oleh karena itu, wasit dalam urusan pemilu juga merupakan faktor penting.
Di Indonesia, wasit 'pertandingan' pemilu ialah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Merekalah pemegang kuasa penuh di lapangan pemilu. Bawaslu tidak sekadar mengawal dan mengawasi jalannya pertandingan, tapi sekaligus punya wewenang untuk menyemprit dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Dengan kuasa yang dimilikinya itu, wasit tentu harus netral, tidak berat sebelah, pun tidak tebang pilih. Wasit mesti imparsial, tidak memihak, juga tidak berkongsi dengan kepentingan pihak yang sedang bertanding. Sepatutnya wasit juga punya nyali dan keberanian tinggi untuk menjatuhkan hukuman bagi siapa pun yang dinilai melanggar aturan main. Itu pakemnya.
Jadi, secantik-cantiknya para pemain memainkan pertandingan di lapangan, kalau wasitnya tidak kredibel, tidak netral, tidak punya nyali, jangan harap pertandingan bakal berjalan apik. Boleh jadi yang muncul keributan-keributan yang malah merusak permainan. Sehebat apa pun pelatih tim yang bertanding menyusun strategi, irama pertandingan bakal tetap rusak bila wasitnya menyimpang dari pakem.
Isu perihal wasit pemilu alias Bawaslu ini belakangan kian banyak disorot. Bawaslu dinilai lembek sekaligus tidak punya ketegasan menindak sejumlah pelanggaran yang nyata-nyata terjadi di lapangan. Jangankan menindak, untuk sekadar menyemprit mereka tampak malas, ogah-ogahan. Bawaslu bagaikan wasit yang kehilangan peluit dan kartu-kartu hukumannya.
Bawaslu juga dianggap lambat karena kurang responsif terhadap kejadian-kejadian yang berpotensi menjadi sebuah pelanggaran. Sejatinya sudah banyak indikasi pelanggaran pemilu yang ditemukan masyarakat umum dan masyarakat pemantau pemilu. Akan tetapi, ya itu tadi, entah lantaran peluitnya hilang entah memang Bawaslu tak punya cukup nyali, penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran itu minim.
Mereka lebih banyak menunggu laporan. Setelah laporan masuk pun tak selalu mereka cepat bertindak. Memang ada yang ditindaklanjuti, tapi lebih banyak yang dicuekin, seperti sengaja dibiarkan sampai isu dari laporan itu mereda dengan sendirinya. Hari-hari ini publik menyaksikan Bawaslu lebih banyak diam membeku.
Kebekuan Bawaslu itu pada akhirnya membuat masyarakat hanya disuguhi beragam dugaan kecurangan dan ketidaknetralan tanpa ada kepastian melalui uji kebenaran melalui proses hukum. Orang mulai menduga-duga soal ketidaknetralan itu ketika kerap kali peluit sang wasit hanya kencang kepada satu kelompok tertentu, tapi melempem kepada kelompok lain.
Satu hal lagi yang hilang dari Bawaslu ialah kreativitas dan inovasi pengawasan. Bentuk pelanggaran semakin canggih, tapi Bawaslu sepertinya masih bertahan dengan gaya pengawasan lawas. Akibatnya, sering kali mereka luput mendeteksi gejala-gejala awal pelanggaran. Ketika banyak yang tidak terdeteksi, pelanggaran pada akhirnya menumpuk dan pada satu titik nanti akan menjadi bom waktu.
Sesungguhnya sudah banyak yang mengingatkan, jika sang wasit pemilu itu terus-terusan melakukan pembiaran, trust atau kepercayaan publik kepada Bawaslu bakal semakin luntur. Bahkan tidak cuma itu, kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu bisa terjerembap apabila Bawaslu tak kunjung tegas dan cepat menindak pelanggar kompetisi.
Mari kita ambil analogi dari sebuah pertandingan sepak bola. Ketika wasit tidak tegas, pelit meniup peluit, atau mencla-mencle, yang akan terjadi ialah kekacauan. Ketika kinerja wasitnya buruk, lambat, apalagi tidak menghormati asas keadilan dan kesetaraan dalam setiap keputusannya, risiko terberatnya ialah akan memicu perkelahian bukan saja antarpemain, melainkan juga antarsuporter.
Sekrusial itulah peran dan fungsi wasit. Baik di pertandingan sepak bola maupun pertandingan pemilu. Wasit memang tak mesti lebih hebat daripada pemain, tetapi soal integritas dan ketegasan kiranya tak bisa ditawar-tawar. Dengan integritas dan ketegasan itulah wasit bisa memegang kendali pertandingan, bukan sebaliknya, mereka yang dikendalikan pemain dan permainan.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved