Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Untung Ada Amin

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
20/12/2023 05:00
Untung Ada Amin
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SAYA tidak bisa membayangkan apa jadinya bila pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) gagal menjadi kontestan Pilpres 2024. Saya sepakat dengan pendapat sebagian orang bahwa demokrasi akan terancam bila itu terjadi. Karena itu, masuknya Amin dalam gelanggang Pilpres 2024 ialah bagian dari menyelamatkan demokrasi.

Kenapa bisa begitu? Karena tanpa pasangan Amin, politik kita akan monolit, homogen, tunggal. Demokrasi hanya akan dijejali narasi 'melanjutkan' kendati banyak hal sejatinya butuh perubahan. Tanpa Amin ikut berkontestasi, publik hanya bisa menyaksikan para kandidat berebut legasi Jokowi.

Apakah itu buruk? Bisa jadi ya. Demokrasi itu meniscayakan pilihan-pilihan. Apalagi dalam masyarakat majemuk seperti negeri ini, demokrasi itu jalan politik yang menyediakan beragam alternatif. Kalau semua dilanjutkan, padahal banyak pula yang butuh perubahan, politik yang monolit ialah ancaman nyata demokrasi.

Pasangan Prabowo-Gibran jelas-jelas ingin melanjutkan semua program Jokowi tanpa reserve. Pasangan Ganjar-Mahfud pernah bertekad melanjutkan legasi Jokowi meski agak malu-malu. Belakangan, begitu Mahkamah Konstitusi membolehkan capres-cawapres belum 40 tahun masuk gelanggang dengan syarat yang disesuaikan, pasangan nomor urut 3 itu mulai agak terang-terangan berseberangan dengan Jokowi.

Karena itu, kehadiran Anies-Muhaimin menjadi alternatif. Masuknya pasangan nomor urut 1 itu boleh dimaknai sebagai bentuk penyelamatan demokrasi dari pilihan tunggal dan hegemoni kekuasaan. Apalagi gagasan perubahan yang dibawa pasangan Amin cukup jelas sebagai pembeda. Tidak ragu-ragu, tidak abu-abu.

Apalagi akhir-akhir ini, saat perjalanan demokrasi kita diliputi sejumlah rel yang belok-belok. Beberapa aturan ditekuk demi melempengkan jalan kekuasaan. Etika ditabrak, direndahkan, bahkan diumpat. Sebagian orang mulai mengkhawatirkan arah demokrasi yang hendak digiring menuju jebakan otoritarianisme.

Persis seperti alarm yang pernah dibunyikan dua ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Dalam buku How Democracies Die, keduanya menyebut ada sejumlah perilaku elite yang menandakan mereka hendak membawa biduk demokrasi ke dalam jebakan otoritarian.

Mereka, sejumlah elite itu, tidak menghormati pendapat orang-orang yang memiliki pandangan politik berbeda. Bahkan, mereka mempertanyakan patriotisme kelompok yang tidak setuju, atau memperingatkan bahwa jika pemilik pandangan yang berbeda itu berkuasa, akan menghancurkan negerinya.

Mereka menolak atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Ada sejumlah tanda dari lemahnya komitmen itu, seperti membatasi hak sipil warga negara, tidak patuh pada konstitusi, dan mengusulkan cara-cara antidemokrasi dalam mengelola kekuasaan mereka.

Mereka, tulis Levitsky dan Ziblatt, juga kerap menyangkal para lawan politik. Mereka menuduh lawan politik yang kritis sebagai pelaku makar, mengancam keamanan negara, dan menggunakan instrumen hukum untuk membungkam lawan politik.

Lebih parah lagi, para penjebak demokrasi itu menoleransi kekerasan yang dilakukan kelompok afiliasi politik mereka terhadap kelompok lain. Bahkan, mereka tidak sekadar melakukan pembiaran, tapi justru memanfaatkan tindakan itu untuk mengintimidasi dan menekan lawan.

Mereka melakukan, atau setidak-tidaknya membatasi, kebebasan sipil, termasuk kebebasan media. Tanda-tandanya seperti menyetujui kebijakan-kebijakan hukum atau undang-undang yang bertujuan membatasi kebijakan sipil, membatasi kritik dan protes, bahkan memidanakan para pengkritik pemerintah atau pejabat pemerintah.

Levitsky dan Ziblatt membunyikan alarm itu pada 2018 lalu. Itu artinya, keduanya mencium gelagat bahwa ancaman terhadap demokrasi kian nyata di berbagai negara. Tanda-tanda itu tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Munculnya kelompok kritis di tengah masyarakat akhir-akhir ini ibarat pelantang suara yang penting untuk menjaga agar demokrasi tetap sehat.

Demokrasi yang sehat, menurut Bung Hatta, ialah demokrasi yang membawa prinsip keadilan. Bentuk keadilan itu, salah satunya, memberi rakyat, termasuk rakyat yang gamang dengan pemerintahan, sejumlah pilihan.



Berita Lainnya
  • Kaya sebelum Tua

    01/8/2024 05:00

    JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.

  • Kisah kian Resah Kelas Menengah

    31/7/2024 05:00

    ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.

  • Tambang Berkemajuan

    30/7/2024 05:00

    DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.

  • Pensiunan Agung

    29/7/2024 05:00

    “APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.

  • Resah Gongahwah

    27/7/2024 05:00

    SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.

  • Jangan Panggil Dia Profesor

    26/7/2024 05:00

    WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.  

  • Antara Miskin dan Bahagia

    25/7/2024 05:00

    SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta

  • Horor Guru Honor

    24/7/2024 05:00

    SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran

  • Welcome Kamala Harris

    23/7/2024 05:00

    Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.

  • Lucu-Lucu Mobil Dinas

    22/7/2024 05:00

    HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.

  • Ma’ Olle Salamet Tengka Salana

    20/7/2024 05:00

    ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu

  • Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor

    19/7/2024 05:00

    TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya

  • Kamar Reyot Senator

    18/7/2024 05:00

    DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.

  • Jiwa Besar

    17/7/2024 05:00

    BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.

  • Kemerdekaan Hakim Eman

    16/7/2024 05:00

    Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

  • Dokter di Balik Harga Obat Mahal

    15/7/2024 05:00

    INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.