Politik (bukan) Riang Gembira

Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group
14/11/2023 05:00
Politik (bukan)  Riang Gembira
Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SELAMA enam kali pemilihan umum selama Orde Baru, kampung saya di Karawang, Jawa Barat, dikenal pendukung fanatik Partai Persatuan Pembangunan. Bujukan, pembagian sembako, hingga intimidasi dari penguasa, Partai Golongan Karya dan ormas-ormas yang mendukungnya tak menggoyahkan warga berpaling dari partai Kabah itu.

Soliditas warga untuk mendukung partai Kabah bukan perkara mudah, penuh perjuangan. Kekerasan tak pelak menghampiri. Jangankan memasang bendera di lokasi-lokasi strategi sekitar Kecamatan Cikampek, memasang bendera PPP di depan rumah pun hanya bisa dilakukan oleh orang-orang bernyali tinggi.

Bendera akan dicopot setelah sebelumnya diancam untuk tidak pasang bendera lagi oleh aparatur (ABRI), perangkat desa, dan ormas. Alhasil, bendera berkibar hanya sekejap menyapa warga. Akhirnya, saya dan beberapa anak kampung memasang diam-diam bendera di tempat-tempat yang sulit untuk dicopot, seperti di pucuk-pucuk pohon yang tinggi. Melihat bendera berkibar betapa bahagianya warga karena bendera kesayangan dan kebanggaan mereka berkibar. Namun, lagi-lagi

saya harus gigit jari karena bendera itu tak bertahan lama karena ABG (anak buah Golkar) menurunkannya.

Suatu hari tragedi menimpa keluarga saya. Paman saya, salah satu tokoh masyarakat, pada dini hari saat Pemilu 1987, rumahnya diserang orang tak dikenal. Menurut kesaksian warga, pelakunya ialah ormas berbaju loreng merah yang sangat dikenal di Jabar. Pendukung garis keras Golkar.

Rumah paman dilempari batu dan kaca depan dipecahkan. Setelah melakukan aksinya, pelaku kabur. Tuhan masih melindungi keluarga paman. Batu sebesar kepalan tangan jatuh di atas kasur dekat anak paman, bayi yang baru lahir.

Itulah sekelumit kekejaman politik pada era Orba. Sekuat-kuatnya Jenderal Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya lengser juga. Dijatuhkan oleh gerakan rakyat (people power) yang dimotori mahasiswa setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untuk periode ketujuh dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998 untuk masa bakti 1998-2003

Negara dalam krisis menjelang kejatuhan Soeharto. Krisis moneter dan politik berkelindan sehingga membuat kepercayaan kepada pemerintah terjun bebas. Krisis moneter diawali dengan lumpuhnya perekonomian negara sejak awal Juli 1997. Pemicu utamanya ialah menurunnya nilai mata uang rupiah sehingga kondisi perekonomian limbung dan tidak terkendalikan oleh pemerintah.

Di tahun yang sama, krisis politik juga semakin menghangat setelah mahasiswa di berbagai daerah sudah turun ke jalan. Jauh sebelumnya pemerintah merasa terancam dengan popularitas Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia sehingga terjadi aksi penyerbuan ke kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang dikenal dengan ‘Sabtu Kelabu’ pada 27 Juli 1996.

Meski Golkar selalu menang dalam pesta demokrasi lima tahunan, dan terakhir Pemilu 1997, Soeharto tidak percaya diri melihat perkembangan partai yang dinakhodai putri Bung Karno itu. Berbagai jurus dilakukan untuk mengempiskan partai berlambang banteng itu, di antaranya membentuk kepengurusan tandingan PDI di bawah Soerjadi hingga terjadi penyerbuan ke markas PDI yang dikuasai massa PDI Megawati.

Upaya rezim Orba menekan aktivitas pro-demokrasi menemui puncaknya pada 1997. Serangkaian penculikan dilakukan oleh Tim Mawar, tim khusus dari Kopassus yang saat itu dipimpin Prabowo Subianto.

Gerakan reformasi pun bergulir. Sejumlah tuntutan menguar, di antaranya penghapusan Dwifungsi ABRI, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Komitmen pemberantasan KKN tertuang dalam Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selain itu diperkuat juga dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Dua payung hukum terkait pemberantasan KKN sangat relevan sampai kapan pun selama NKRI berdiri, termasuk pemberantasan nepotisme, yakni isu tersebut mencuat lagi ketika putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, berlaga pada Pilpres 2024 sebagai pendamping capres Prabowo Subianto.

Berdasarkan UU No 28 Tahun 1999, definisi nepotisme ialah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Jalan Wali Kota Solo itu menuju kontestasi dengan bantuan sang paman, Anwar Usman yang menjabat ketua Mahkamah Konstitusi. Putusan kontroversial MK tentang batas usia capres berujung pemecatan sang paman sebagai Ketua MK oleh Mahkamah Kehormatan MK.

Masalahya, bukan karena politik kekerabatan atau anak muda di bawah 40 tahun, tetapi upaya rekayasa hukum yang penuh cacat moral dan etika di lembaga yang disebut penjaga konstitusi itu. Didapuknya sang anak ke puncak kekuasaan dilandasi Presiden Joko Widodo untuk menyiapkan penerusnya dalam suksesi kepemimpinan pada 2024.

Pesta demokrasi sejatinya harus didasari politik riang gembira. Jika yang dilakukan elite menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, jalan politik itu bukan riang gembira, melainkan teror yang harus dilawan. Kata bijak menegaskan inde datae leges be fortior omnia posset, hukum dibuat agar orang yang kuat punya kekuasaan yang terbatas. Tabik!



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima