Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
UNGKAPAN 'jangan bikin keputusan saat lapar' kiranya benar adanya. Sebuah penelitian dari University of Dundee, Skotlandia, yang diterbitkan dalam jurnal Psychonomic Bulletin & Review, beberapa tahun lalu, pada salah satu resumenya menyarankan agar seseorang jangan mengambil keputusan penting di saat kondisi perut kosong alias lapar.
Kondisi lapar, kata studi itu, dapat menyebabkan orang tidak sabar sekaligus memengaruhi kemampuan berpikir dalam membuat keputusan. Dengan kata lain, perut kosong ternyata tidak hanya akan menyebabkan emosi mudah tersulut, tapi juga bakal mendorong kita mengambil keputusan yang salah atau tidak tepat.
Teori ini sebetulnya sudah lama dipercaya banyak orang. Bahkan, sejarah mencatat tidak sedikit pemimpin dunia tersohor kerap menggunakan 'meja makan' sebagai instrumen lobi, negosiasi, dan diplomasi politik luar negeri mereka, yang sangat mungkin berangkat dari teori 'jangan ambil keputusan saat perut kosong' tersebut.
Satu contoh yang paling terkenal barangkali saat Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengajak Presiden Rusia Dmitry Medvedev makan siang bersama dengan menu burger di Ray's Hell Burger, Arlington, pada Juni 2010 silam. Di meja yang boleh dibilang kecil, kedua pemimpin negara adidaya itu menegosiasikan isu-isu besar, dari pelucutan nuklir hingga masalah ekspor unggas AS ke Rusia.
Hasilnya, seperti dikatakan Obama, sangat signifikan. "Dengan ukuran apa pun, kami membuat kemajuan yang signifikan dan mencapai hasil yang nyata," kata Obama, ketika itu.
Kiranya benar apa yang dikatakan Gilles Bragard, pendiri perkumpulan boga terkemuka di Prancis, Le Club des Chefs des Chefs (CCC), meja makan mampu menyatukan orang-orang yang terpecah oleh politik. Sajian makanan di meja makan semakin diyakini sebagai bagian dari pendekatan soft diplomacy yang efektif.
Di Indonesia, diplomasi meja makan atau diplomasi makan siang juga acap digunakan para elite politik. Untuk soal ini, Joko Widodo termasuk juaranya. Sejak menjabat Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, hingga sekarang Presiden RI periode yang kedua, Jokowi sering memanfaatkan jamuan makan siang sebagai alat komunikasi politik dan diplomasi untuk melancarkan urusan program dan kebijakannya.
Belakangan ia juga melakukan itu untuk urusan-urusan politik. Termasuk, yang teranyar, ketika pada Senin (30/10) lalu ia mengundang tiga bakal calon presiden, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, untuk makan siang di istana. Lewat acara mengisi perut bareng itu Jokowi ingin mengajak tiga bacapres mengawal Pemilu 2024 berjalan tenang dan damai. Tanpa ada baku fitnah, kampanye negatif, pula menjelekkan dan merendahkan lawan.
Dalam situasi normal, publik mungkin akan memandang diplomasi meja makan Jokowi itu sebagai langkah yang arif dan bijaksana. Boleh jadi Jokowi sedang mengimplementasikan ucapan Bragard bahwa potensi perpecahan akibat kontestasi politik di 2024 bisa dicegah dan dihindari melalui lobi dan diplomasi makan bersama tokoh sentralnya di satu meja.
Namun, siapa bilang situasi sekarang sedang normal? Siapa bilang politik kenegaraan sedang baik-baik saja? Di kala nepotisme tengah dihidupkan lagi, dinasti politik sedang kencang-kencangnya dibangun, bahkan dimodifikasi melalui cara-cara yang di luar nalar hukum dan demokrasi.
Celakanya, salah satu pelaku penyebab ketidaknormalan itu justru Pak Presiden, orang yang mengundang makan siang bareng dan mengajak calon suksesornya mengawal pemilu supaya berlangsung sejuk, damai, dan netral. Mulutnya mengajak kebaikan, tapi tangan, kaki, dan kaki tangannya bertindak sebaliknya. Ia berjanji netral, tapi tak mampu menutupi keberpihakan untuk mendukung sang putra mahkota, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi pendamping Prabowo.
Tentu bukan salah publik kalau kemudian menganggap diplomasi makan siang Jokowi dengan bacapres itu hanyalah tipu-tipu alias palsu. Ada yang menyebut Jokowi tidak sedang berdiplomasi, tapi tengah melempar basa-basi. Ada yang menuding makan siang hanya pengalihan isu soal dinasti politik yang dibangun Jokowi sekaligus membersihkan citra seusai pencalonan Gibran.
Diplomasi meja makan Jokowi terbukti tidak seperti yang diteorikan. Dengan perut sudah terisi pun nyatanya tidak ada sesuatu bernilai yang dihasilkan dari jamuan makan siang itu. Yang muncul malah janji-janji kosong dari Jokowi soal netralitas. Kosong karena tidak ada kesesuaian antara kata dan tindakannya.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved