Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DI negeri ini ada satu sektor pengungkit ekonomi yang hampir selalu terlupakan untuk diperhatikan pemerintah, yaitu sektor papan alias perumahan. Entahlah, padahal papan ialah salah satu dari tiga macam kebutuhan pokok yang kita pelajari sedari kecil selain pangan dan sandang. Namun, makin ke sini, tampaknya sektor itu semakin luput dari perhatian.
Setidaknya di era reformasi ini, pernahkah ada calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu-pemilu sebelumnya yang melontarkan program terkait dengan perumahan dalam kampanye atau sosialisasi mereka? Nyaris tidak ada. Kalaupun ada, mungkin hanya secuil janji yang sangat umum, tidak berbasis pada data spesifik dan permasalahan yang ada.
Dalam setiap kampanye, isu tentang perumahan selalu kalah oleh isu di bidang pangan, energi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pun dalam realisasinya. Hampir tidak ada terobosan program dan kebijakan yang berarti dari pemerintah untuk melecut sektor itu menjadi bagian penting dari pembangunan bangsa, baik pembangunan ekonomi maupun sumber daya manusia.
Tak perlu jauh-jauh mencari bukti. Strategi mengurangi backlog (kekurangan) rumah saja tak kunjung berhasil. Angka backlog yang saat ini konon sebesar 12,7 juta unit itu tak jauh berbeda dengan angka pada 10-15 tahun lalu. Artinya tidak ada pergerakan berarti dalam hal pengurangan backlog. Upayanya begitu-begitu saja, ya hasilnya juga segitu-segitu saja.
Kita selalu membahas ketahanan dan kedaulatan pangan. Bahkan kedaulatan digital pun sekarang menjadi isu yang kerap digaungkan. Akan tetapi, tak pernah tercetus sedikit pun tentang ketahanan atau kedaulatan papan. Seolah-olah sektor perumahan bukan faktor penting, hanya dianggap remah yang boleh dimasukkan urutan daftar prioritas pembangunan paling belakang atau malah tidak diprioritaskan.
Padahal, perumahan sesungguhnya merupakan bagian integral dari isu-isu lain yang dianggap strategis secara politik tersebut. Jika negara ini memiliki ketahanan papan, semestinya pemerintah akan lebih mudah menuntaskan mimpi bangsa ini menjadi negara maju atau menggapai Indonesia emas pada 2045. Dalam konteks itu, tak diragukan lagi, rumah ialah fondasi pembangunan SDM yang berkualitas.
Sederhana saja, bagaimana negara mau tingkat kesehatan masyarakat naik kalau masih banyak dari mereka yang tidak tinggal di rumah yang sehat? Bagaimana pemerintah ingin menurunkan angka tengkes (stunting) dan gizi buruk jika masyarakat masih dipusingkan persoalan tempat tinggal? Bagaimana mau mengakselerasi kualitas pendidikan apabila banyak orangtua tak mampu mendidik anak-anak mereka dengan optimal karena mereka tinggal di rumah yang tidak layak, bahkan tak punya rumah?
Pun bila kita lihat dari sudut pandang lain, kontribusi sektor perumahan dan properti terhadap pembangunan ekonomi tidaklah main-main. Menurut penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, selama periode 2018-2022, sektor properti, realestat, dan konstruksi bangunan menyumbang kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar Rp2.349 triliun-Rp2.865 triliun per tahun, atau sekitar 14%-16%.
Belum lagi sektor tersebut mampu menciptakan multiplier effect atau spillover effect sebanyak lebih dari 180 sektor usaha. Sektor properti dan perumahan juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi 13,8 juta orang per tahun atau setara dengan 9,6% dari total angkatan kerja nasional pada 2022 lalu. Impaknya jelas, sektor itu punya kekuatan pula untuk mencegah naiknya kemiskinan.
Lantas, sudahkah kita terlambat untuk bergerak? Mestinya tidak ada kata terlambat. Kata orang sono, better late than nothing. Lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa. Kalau tidak di rezim pemerintahan sekarang, ya kita berharap, sangat berharap, pemerintahan yang akan datang hasil Pemilu 2024 punya perspektif dan persepsi yang lebih maju tentang sektor perumahan. Ujungnya bukan hanya perhatian yang mereka tunjukkan, melainkan juga keberpihakan yang maksimal.
Kalau boleh menitip pesan, bagi siapa pun yang nanti terpilih menjadi pemimpin bangsa, tunjukkan perhatian dan keberpihakan itu dimulai dengan pembenahan kelembagaan. Sudah semestinya urusan perumahan ditangani kementerian/lembaga tersendiri. Kita bisa mengambil contoh Tiongkok yang memiliki Ministry of Housing and Urban-Rural Development atau Singapura yang punya lembaga bernama The Housing and Development Board, yang berada di bawah Ministry of National Development.
Sukses di Tiongkok dan Singapura memang bukan jaminan akan berhasil pula di Indonesia. Akan tetapi, setidaknya perumahan akan diurus lebih serius dan fokus, tidak seperti sekarang yang hanya di bawah bayang-bayang urusan infrastruktur. Ini saatnya menggelorakan ketahanan papan.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved