Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
ADA satu poin paling menarik dan menggelitik di antara tiga komitmen perihal netralitas TNI untuk Pemilu 2024 yang disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Selasa (12/9) lalu. Poin itu ialah larangan bagi prajurit/PNS TNI berfoto dengan pose menggunakan simbol jari. Alasannya, penggunaan simbol itu dikhawatirkan bisa diputarbalikkan atau dinterpretasikan sebagai bentuk dukungan kepada salah satu calon peserta pemilu.
Terasa agak absurd memang, masak mengacungkan simbol jari saja dipersoalkan? Akan tetapi, tidak salah juga kiranya kekhawatiran Panglima itu karena faktanya memang demikian. Setidaknya, kalau kita berkaca dari pengalaman dua pemilu sebelumnya, yakni 2014 dan 2019, simbol jari yang sejatinya universal, bebas dari arah politik, sebagian posenya seperti dirampas keuniversalannya dan seolah-olah menjadi milik pasangan calon (paslon) tertentu.
Acungan jempol, misalnya, seakan-akan diklaim menjadi identitas paslon nomor urut satu. Atau simbol victory (mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V) dianggap kepunyaan paslon nomor urut dua. Urusan simbol jari yang tadinya biasa-biasa saja menjadi perkara sensitif gara-gara tensi rivalitas dua paslon yang teramat tinggi dalam dua pemilu tersebut. Sesuatu yang sesungguhnya simpel dibuat jadi rumit.
Ada cerita menarik ihwal penggunaan simbol jari di tahun politik. Saat itu menjelang Pemilu 2019, tepatnya pada Oktober 2018. Pada acara pertemuan IMF-World Bank yang digelar di Nusa Dua, Bali, dalam satu sesi pengambilan foto/video, Managing Director IMF Christine Lagarde dan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim secara spontan berpose mengacungkan dua jari. Mereka tentu tidak tahu bila acungan salam dua jari, ketika itu, ialah representasi dari nomor urut pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Mereka cuek karena tidak tahu dan tidak terpikirkan sama sekali. Namun, tidak dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang berdiri di sebelah Lagarde. Secara spontan pula Luhut dan Sri Mulyani lantas mengoreksi dan mengajak Lagarde mengacungkan satu jari, yang kita tahu merupakan identitas pasangan nomor urut satu, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Atas spontanitas mereka itu, Luhut dan Sri Mulyani kemudian dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh koalisi masyarakat yang tergabung dalam Advokat Nusantara. Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang untuk berkampanye dan menguntungkan salah satu kandidat Pemilu 2019. Padahal sebagai pejabat, seperti juga ASN dan TNI/Polri, seharusnya mereka netral. Hanya persoalan satu-dua jari sebenarnya, tapi masalahnya merembet sampai ke pengawas pemilu.
Dari contoh itu, jelas, bahwa kesahajaan simbol jari sudah lenyap tersapu angin tahun politik. Di tahun politik, simbol jari seperti berubah makna dan fungsi menjadi alat untuk mengampanyekan seseorang atau pasangan tertentu. Pun sebaliknya, ia juga digunakan sebagai alat untuk menilai keberpihakan atau netralitas seseorang dalam kontestasi pemilu, khususnya pilpres. Gerakan atau simbol jari yang sebelumnya netral, tiba-tiba menjadi gerakan yang partisan.
Dulu acungan jempol bermakna untuk mengekspresikan pujian atau kekaguman atas sesuatu, tapi di tahun politik acungan jempol hanya dimaknai sebagai dukungan kepada peserta pemilu yang kebetulan punya nomor urut satu. Dulu, acungan dua jari adalah ekspresi kemenangan (victory), tapi di tahun politik, maknanya menyusut, hanya dianggap sebagai ekspresi sokongan kepada peserta bernomor urut dua.
Secara aturan main, sesungguhnya tidak ada satu pun peraturan terkait pemilu yang mengatur secara detail tentang pelarangan pose atau simbol jari, termasuk bagi pejabat publik, ASN, maupun TNI/Polri yang khitahnya memang harus bersikap netral dalam setiap kontestasi pemilu. Yang terjadi selama ini hanya berdasarkan persepsi. Gerakan jari dipersepsikan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang mengeklaim sebagai 'pemilik' simbol tadi secara semena-mena.
Dari sudut pandang itu, perintah Panglima TNI melarang anggotanya berfoto dengan pose simbol jari mungkin menjadi wajar. Niatnya baik, untuk menghindari persepsi yang macam-macam. Namun, dalam perspektif lebih luas, apa iya kita mau terus-terusan terjebak dalam politik atau pemilu simbolisasi seperti itu? Politik semestinya lebih menyodorkan hal-hal substantif ketimbang simbolis. Politik yang mencerdaskan ialah politik yang tekun mengadu gagasan, bukan mengadu simbol.
Sebentar lagi, rangkaian proses Pemilu 2024 akan masuk tahap pendaftaran capres dan cawapres. Tentu akan disusul pula dengan pengundian nomor urut. Dari titik mula itu kita akan menguji apakah pemilu kali ini akan meninggalkan simbolisasi nomor urut melalui pose jari atau justru lebih membabi buta. Jangan-jangan besok pose jari saranghae atau finger heart (menyilangkan jempol dan telunjuk) pun ikut-ikutan diklaim sebagai simbol salah satu pasangan calon. Ampun dah.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved