Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
TERJEBAK itu tidak enak. Lebih-lebih jika yang terjebak sebagian besar rakyat di sekujur negeri. Imbasnya bisa ke banyak sendi, bahkan bisa mengenai mereka yang belum terkena atau tidak terkena jebakan.
Situasi potensial bakal terkena jebakan seperti itulah yang kerap diingatkan berbagai kalangan. Ada rasa waswas negeri ini bakal dilanda middle income trap, atau jebakan negara berpendapatan menengah. Rasa waswas muncul karena bila Indonesia masuk ke jebakan itu sulit rasanya bagi Republik ini untuk menjadi negara maju.
Padahal, kita sudah bertekad bulat menjadi negara maju. Kenyataannya sudah dua dasawarsa jalan ke arah itu belum benderang benar. Secara progres, pendapatan per kapita kita memang naik. Namun, kenaikan pendapatan per kapita itu belum signifikan, belum terlalu nendang. Masih jauh dari cita-cita menjadi negara maju.
Apalagi, kesempatan bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah tidak akan terbuka selamanya. Sayangnya, meski kita punya celah, ikhtiar untuk memanfaatkan sebaik-baiknya celah itu masih belum maksimal. Sepertinya belum ada orkestrasi yang sebangun di kalangan penentu kebijakan ihwal bagaimana meretas jalan menuju negara berpenghasilan tinggi alias negara maju.
Saya sepakat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Pidato Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara, 16 Agustus lalu, ihwal tekad menuju negara maju. Kata Kepala Negara, modalitas untuk memperkuat transformasi ekonomi, yakni bonus demografi, harus dijalankan sebaik mungkin.
Kendati sepakat, saya belum mampu diyakinkan oleh Jolowi soal bagaimana bentuk dan cara menghela transformasi ekonomi itu. Saya skeptis transformasi itu bakal berlangsung mulus bila tidak ada upaya radikal untuk menggali potensi ekonomi kita dengan keringat yang lebih deras guna menghasilkan pertumbuhan tinggi.
Sebab, untuk keluar dari middle income trap, kita butuh pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-8%. Itu bila kita merujuk pada pernyataan Jokowi sendiri bahwa peluang untuk keluar dari jebakan kelas menengah bisa terjadi bila dalam sepuluh tahun ke depan pendapatan per kapita kita US$10.900 dari saat ini US$4.500.
Pendapatan dua kali lipat dalam 10 tahun itulah yang butuh pertumbuhan ekonomi 7-8% mulai tahun depan. Jelas, situasi yang sulit dibayangkan. Apalagi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,2%.
Target seperti itu akan membuat beban target pertumbuhan yang lebih tinggi pada pemerintahan berikutnya. Selain itu, tantangan yang tidak kalah sengitnya ialah kualitas pertumbuhan. Bila negeri ini ingin segera keluar dari jebakan pendapatan menengah, pertumbuhan harus benar-benar berkualitas. Salah satu ciri pertumbuhan berkualitas ialah tingkat kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja, yang ujungnya peningkatan pendapatan warga.
Justru di situlah letak paradoks antara cita dan fakta. Kita bercita-cita menaikkan pendapatan, tapi riwayat rata-rata pertumbuhan ekonomi kita dalam 10 tahun terakhir justru lebih rendah daripada 10 tahun sebelumnya. Saat mengawali pemerintahan, Jokowi berjanji menaikkan pertumbuhan ekonomi negeri ini ke rata-rata 7% dengan pertumbuhan berkualitas.
Faktanya, sejak 2015 hingga 2023, rata-rata ekonomi kita tumbuh di seputar 5,3%. Sudah begitu, kemampuan pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja menurun drastis. Sepuluh tahun lalu, tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 270 ribu tenaga kerja. Kini, 1% pertumbuhan hanya mampu menyerap kurang dari 150 ribu tenaga kerja. Itu karena pertumbuhan ekonomi kita terus-menerus mengandalkan konsumsi rumah tangga yang porsinya lebih dari separuh untuk menopangnya (terakhir di angka 53,3%).
Terlalu naif kalau kita bilang tidak ada kemajuan dalam satu dadawarsa terakhir. Jelas bahwa pembangunan infrastruktur sudah digenjot besar-besaran. Tingkat keterhubungan antarwilayah, termasuk wilayah terpencil, kian membaik. Namun, sejumlah infrastruktur dibangun tanpa perencanaan matang. Walhasil, triliunan rupiah dana yang sudah digerojokkan (sebagian dibiayai dengan utang) belum berdampak seperti yang ditekadkan.
Tengoklah Bandara Kertajati, Bandara Sudirman, dan beberapa bandara yang sudah diresmikan sejak tiga tahun lalu, hingga kini malah majal. Beberapa bandara itu bahkan seperti kuburan, tidak ada aktivitas layaknya bandara yang sibuk dengan lalu lalang manusia. Yang terdengar hanya suara gemuruh angin musim kemarau dan petir di musim hujan.
Beberapa proyek infrastruktur juga masih mengedepankan gengsi ketimbang fungsi. Proyek kereta cepat Halim-Tegalluar, yang jaraknya tidak sampai 200 kilometer, ialah contoh nyata bahwa simbol negara maju (salah satu tandanya punya kereta cepat) lebih penting ketimbang fakta negara maju.
Apakah itu sebuah transformasi? Apakah itu bisa memperdekat jarak dengan negara maju sepuluh tahun mendatang? Apakah cukup itu untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah? Sepertinya masih terlalu banyak pertanyaan ketimbang ketersediaan jawaban. Seperti kutipan lirik Ebiet G Ade yang berulang kali disebut banyak orang: 'coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang'.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved