Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
INI soal pede, percaya diri. Soal ini mengemuka, menjadi ajang perdebatan, bahkan bahan perselisihan antara dua partai besar, yakni PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Penyebabnya sekilas sepele, yaitu soal baliho.
Namun, baliho yang dimaksud bukan sembarang baliho. Ia ialah baliho politik jelang kontestasi politik di pemilu, khususnya Pilpres 2024. Ia menjadi soal karena dalam baliho itu terpampang wajah Jokowi.
Jokowi ialah kader PDIP yang selama dua periode menjabat Presiden RI. Sebagai kader, PDIP tentu boleh mengklaim bahwa Jokowi ialah miliknya. Namun, sebagai presiden, siapa pun dia, termasuk Gerindra tentu saja, tak dilarang untuk merasa memiliki Jokowi.
Kewajaran itu menjadi persoalan karena wajah Jokowi dibawa ke ranah politik. Gerindra mengapitalisasinya untuk memenangkan Prabowo Subianto. Manuver ini pun sebenarnya sah-sah saja selama yang dikapitalisasi tak keberatan. Toh, Jokowi tak ambil pusing. Kata dia, fotonya juga dipajang PDIP dan partai-partai lain. Dia santai-santai saja, oke-oke saja, bahkan bisa jadi malah menikmatinya.
Gerindra memang yang paling bersemangat, paling gencar, menyebar baliho bergambar Jokowi bersama Prabowo. Baliho ukuran besar dipasang di mana-mana, termasuk di kandang-kandang banteng. Pesannya jelas, lugas, yaitu untuk mempersepsikan sekaligus meyakinkan kepada publik bahwa Jokowi mendukung Prabowo.
Di baliho, Jokowi dan Prabowo sama-sama berkemeja putih. Narasi yang melengkapinya jelas dan lugas pula bahwa Prabowo ialah sosok penerus Jokowi paling pas. Wis Wayahe, 2024 Jatahnya Pak Prabowo, Bergerak Bersama Bangkitkan Indonesia Raya. Begitulah salah satu tulisan yang dipampang. Pun Untuk Indonesia Maju. Ada pula, Bersatu Membangun Bangsa.
Itulah yang membuat PDIP kemudian jengah. Dalam berbagai kesempatan, elite-elite PDIP terkesan tak bisa menerima manuver Gerindra itu. Salah satu politikus senior PDIP bahkan menyebut, dengan menebar baliho bergambar Jokowi dan Prabowo, Gerindra sebenarnya tak pede.
Baginya, Prabowo enggak punya kepercayaan diri. ''Lihat dia harus pake kadernya (PDIP) Jokowi biar naik rating-nya. Wah, naik betul barang itu, begitu ditarik langsung anjlok, jangan berpikir ini dialektikanya," ujar sang politikus.
Benarkah Prabowo dan Gerindra minderan? Menurut penulis Amerika Barbara De Angelis, percaya diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa manusia untuk menghadapi tantangan hidup apa pun dengan berbuat sesuatu. Orang yang pede ialah yang punya keyakinan bahwa dirinya mampu menghadapi sesuatu. Dia tak butuh validasi dari orang lain, apa pun bentuk validasi itu.
Jika definisi itu yang jadi patokan, kiranya Prabowo memang tidak, atau setidak-tidaknya, kurang percaya diri. Dia sebenarnya tokoh besar, partainya juga besar, tetapi masih merasa perlu bergantung pada dukungan dari orang lain, dari kekuasaan. Namun, dalam politik, hal itu sah-sah saja meski kepantasannya boleh dipertanyakan. Ia bagian dari strategi kendati harus merendahkan diri.
Bagaimana dengan PDIP? Kiranya tak jauh beda. PDIP ialah partai terbesar, partai pemenang pemilu, tapi kesan bahwa mereka juga bergantung pada Jokowi sulit dihindari. Dengan menyoal baliho Jokowi yang disebar Gerindra, mereka tampak kurang percaya diri. Mereka dinilai minder, atau mungkin juga khawatir, takut, Jokowi akan mendua atau bahkan pindah ke lain hati.
Manuver PDIP belakangan menguatkan kesan tersebut. Mereka mempermasalahkan baliho Gerindra, tapi malah melakukan hal yang sama. Sama-sama menyebar baliho dengan gambar yang sama, gambar Jokowi, yang tentu disandingkan dengan Ganjar. Bedanya, kalau Jokowi dan Prabowo di baliho Gerindra berbaju putih, di baliho PDIP pakai jas dan peci.
Bahkan, di Semarang yang merupakan salah satu daerah basis PDIP, spanduk bertuliskan ‘Jokowi Pilih Ganjar Presiden’ dibentangkan. Bukankah manuver itu justru bisa dimaknai bahwa mereka sebenarnya tak haqul yakin bahwa hati Jokowi hanya untuk si rambut putih? Bukankah penegasan itu bisa diartikan bahwa mereka tak percaya diri?
Kata salah satu aktivis 1998, Faizal Assegaf, rebutan partai besar terhadap istana atau kekuasaan ialah sesuatu yang memalukan. Dia juga menyebut ini mengonfirmasi tidak adanya rasa percaya diri.
Banyak pula yang bilang, kontestasi demokrasi akan mengasyikkan jika partai atau kontestan tak bergantung pada kekuasaan dan kekuasaan tak cawe-cawe dalam persaingan. Saya sih sepakat itu. Bagaimana dengan Anda, para pembaca yang budiman?
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved