Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
HARI ini Kota Jakarta berulang tahun yang ke-496. Barangkali ini tahun-tahun terakhir Jakarta merayakan ulang tahun dalam statusnya sebagai ibu kota negara. Tahun depan, sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo, secara bertahap pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur harus mulai dilakukan.
Dalam bayangan ideal saya, dengan hilangnya status ibu kota, ketika merayakan ulang tahun yang kelima abad alias 500 tahun pada 2027 nanti, Jakarta boleh jadi sudah punya wajah yang berbeda. Wajah yang semestinya lebih segar, lebih cerah, sekaligus lebih humanis dan bersahabat. Tidak seperti Jakarta sekarang yang kusam, kotor, dan tak jarang terlihat kejam dan bengis.
Membayangkan masa depan Jakarta yang indah kiranya lebih menarik buat saya ketimbang ikut memperdebatkan mengapa ibu kota negara harus dipindah dari Jakarta. Debat soal itu hanya akan menjadi debat kusir, tidak akan pernah ada titik temu antara kubu propemindahan dan kubu antipemindahan. Seperti halnya debat antara kusir delman dan kudanya, mana bisa nyambung?
Di satu sisi, pemerintah sebagai pengusul pemindahan ngotot ingin ibu kota pindah pada 2024, apa pun yang terjadi. Mereka tak peduli meski, di sisi lain, banyak suara mengkritik urgensi kebijakan itu sejak awal. Memang ada adu argumentasi, adu pendapat, bahkan adu mulut, tetapi pada akhirnya keinginan pemerintah soal ibu kota negara baru sepertinya tak bisa dibendung.
Undang-undang tentang IKN Nusantara dengan cepat dibahas dan diketok sah sebagai modal legitimasi rencana pemindahan ibu kota tersebut. Belakangan, Presiden bahkan mau ikut cawe-cawe dalam urusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, salah satu alasannya, sepertinya, karena takut kebijakan pembangunan ibu kota baru pengganti Jakarta tidak diteruskan presiden selanjutnya.
Ya, maklum saja Presiden ngotot, karena kalau rencana ini sukses, itu akan menjadi legacy atau warisan kebijakan yang mungkin bakal dikenang sepanjang masa. Akan tertulis di buku-buku sejarah bahwa Presiden RI ke-7 Joko Widodo ialah pemimpin yang berhasil memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN Nusantara. Maka, sekencang apa pun kritikan tentang proyek ibu kota baru itu, pemerintah sepertinya tak peduli.
Karena itu, daripada mumet, mendingan kita membayangkan saja situasi Jakarta setelah lepas dari statusnya sebagai ibu kota negara. Situasi Jakarta yang tak lagi menjadi pusat pemerintahan meski masih akan menjadi pusat ekonomi dan bisnis. Sekecil apa pun perubahannya, Jakarta bakal berubah wajah karena satu beban beratnya sudah hilang.
Lalu, apakah otomatis wajah Jakarta akan lebih segar dan cerah seperti uraian saya di atas tadi? Apakah kekejaman Jakarta juga akan sirna seiring ia tidak lagi menjadi ibu kota? Apakah status baru itu akan membuat udara Jakarta bersih dari polusi? Belum tentu juga. Namun, kini hal itu menjadi harapan yang masuk akal.
Setidaknya dari sisi kepadatan, Jakarta sangat mungkin bakal tak semenakutkan sekarang. Kekuatan magnet Jakarta yang selama ini mampu menarik segala macam kepentingan, harapan, bahkan mimpi, akan berkurang. Jakarta mestinya juga akan lebih gesit mengatur dirinya sendiri karena tidak dibebani lagi oleh urusan keibukotaan negara.
Memang, tak mungkin kita berharap Jakarta akan bertransformasi menjadi lebih baik dalam seketika. Tentu butuh proses panjang. Belum lagi masih ada persoalan-persoalan klasik kota ini yang tentu tidak akan hilang begitu saja tanpa skema penanganan yang lebih fokus dan serius. Kemacetan, banjir, kriminalitas, dan ancaman polusi udara kiranya masih menjadi momok buat Jakarta meskipun sudah tak menjadi ibu kota.
Akan tetapi, dengan dicabutnya status ibu kota, paling tidak itu bisa dijadikan titik pijak untuk pengelolaan kota yang lebih terencana dan integratif. Bila perlu dan bila memungkinkan, kenapa tidak membuat masterplan pembangunan yang baru, yang lebih modern dan aplikatif untuk memandu agar pola pembangunan kotanya tak serampangan?
Tujuan akhirnya tentu saja Jakarta harus menjadi kota yang inklusif, humanis, dan berkelanjutan. Kota yang tak hanya ramah publik, tapi juga ramah lingkungan.
Agak mengawang-awang, ya? Ya, namanya juga mimpi, bolehlah kita berharap yang tinggi-tinggi selama itu masih mungkin digapai. Kita berdoa saja Pilkada 2024 nanti bisa menghasilkan pemimpin Jakarta yang mampu menerjemahkan mimpi-mimpi itu dalam kerja nyata.
Selamat ulang tahun Jakarta. Semoga panjang umur.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved