Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Terkepung Polusi

Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group
15/6/2023 05:00
Terkepung Polusi
Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

DI tengah riuhnya pemberitaan soal politik, mulai pergerakan dan intrik koalisi-koalisi parpol menjelang Pemilu 2024, niat cawe-cawe Presiden Joko Widodo, hingga penantian pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sistem pemilu, beruntung masih terselip satu isu penting yang kini juga ramai dibincangkan, yaitu tentang kualitas udara yang semakin buruk di kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta.

Mengapa ini penting, karena dampak dari kian buruknya kualitas udara itu langsung dirasakan masyarakat. Bukan lagi sekadar prediksi atau asumsi, apalagi berandai-andai. Berbeda dengan isu tentang politik dan kepemiluan yang semuanya masih di atas kertas, baru sebatas potensi. Walaupun dengan berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, prediksi dan asumsi dalam politik itu bisa saja menjadi kenyataan.

Namun, yang sudah pasti menjadi fakta hari ini, polusi udara di Jakarta kian mengkhawatirkan. Kadarnya sudah keterlaluan, melebihi yang seharusnya. Akibatnya, ya tadi, kualitas udara Jakarta memburuk, bahkan saking buruknya 'ditahbiskan' sebagai salah satu kota yang memiliki kualitas udara terburuk di dunia. Tentu saja ini berefek langsung pada kesehatan, keamanan, dan keselamatan masyarakat.

Seberapa parahkah udara Jakata? Mari kita bedah. Tingkat kualitas udara dalam satu wilayah biasanya diukur berdasarkan indeks kualitas udara (AQI). Semakin tinggi angka AQI menandakan kualitas udara yang semakin buruk. Makin rendah AQI, semakin baik kualitas udaranya.

Mengutip laman iqair.com, per Rabu (14/6) sore kemarin, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta ada di level 154. Angka ini sejatinya fluktuatif, bisa naik bisa turun secara real time. Akan tetapi, dalam beberapa hari terakhir, AQI Jakarta memang bergerak di antara 120 hingga 160. Angka itu tergolong tinggi dan masuk kategori tidak sehat.

Dengan AQI di kisaran angka tersebut, Jakarta konsisten berada di lima besar di antara kota-kota besar di seluruh dunia untuk kategori kota dengan kualitas udara terburuk. Contohnya, kemarin, dengan AQI 154 Jakarta menempati peringkat dua di bawah ibu kota India, New Delhi.

Polutan utama dari polusi udara ialah particulate matter (PM 2.5). Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), PM 2.5 ialah polutan udara yang berukuran sangat halus, sekitar 2,5 mikrometer. Naiknya angka PM 2.5 dipengaruhi oleh faktor udara panas, kebakaran, dan polusi lingkungan. Untuk Jakarta, kemarin, level PM2.5 mencapai 61 ug/m3 atau 12 kali lebih tinggi di atas anjuran WHO.

Dengan angka-angka itu saja sudah bisa dibayangkan bagaimana 'rusaknya' udara Jakarta. Di sisi lain, fakta bahwa langit di ibu kota semakin keruh, bahkan di pagi hari sekalipun, juga tampak melalui pandangan mata langsung. "Saya kira kabut, ternyata udaranya kotor karena polusinya semakin berat," kata Nita, seorang 'pejuang' pagi saat diwawancarai Metro TV, beberapa waktu lalu.

Kalau secara pandangan mata dan data angka sudah kompak, apa lagi yang bisa dibantah soal buruknya udara Jakarta? Yang pasti penyakit yang berhubungan dengan pernapasan, ISPA atau yang lain, sudah tak lagi sekadar mengintai, tapi sudah betul-betul menyerang. Dampak terburuknya ialah kematian.

Laman iqair.com bahkan menyatakan polusi udara diperkirakan telah menyebabkan kematian sekitar 4.900 orang di Jakarta selama 2023. Selain itu, polusi udara juga telah menimbulkan kerugian sekitar US$1,3 miliar atau setara Rp18,85 triliun (kurs 14.500/US$) di Jakarta untuk tahun ini saja. Sadis, bukan?

Lalu, ada seorang kawan yang bertanya, mana yang lebih berbahaya, polusi udara atau 'polusi digital'? Yang dia maksud dengan polusi digital ialah konten-konten sampah yang diunggah ke ruang publik melalui medium digital, khususnya media sosial. Polutannya antara lain ujaran kebencian, hoaks, fitnah, perundungan, dan kejahatan siber.

Sangat masuk akal pertanyaan kawan itu karena sudah berkali-kali terbukti, terutama ketika suhu politik memanas menjelang pemilu, polusi digital juga mampu menimbulkan dampak yang tak kalah merusak ketimbang polusi udara. Dimensinya saja yang agak berbeda. Polusi udara mungkin lebih menyerang fisik: menyebabkan sakit, kematian atau kerugian ekonomi, sedangkan polusi digital lebih berimpak ke sisi sosial: menyulut pertikaian, perpecahan, dan polarisasi di masyarakat.

Terkepunglah kita oleh macam-macam polusi yang semuanya merusak. Lantas, di mana negara yang semestinya hadir dengan kebijakan solutif untuk memperbaiki kualitas udara dan ruang digital demi mencegah kerusakan lebih besar? Entahlah. Barangkali, saking bingungnya, kalau ditanya soal penanganan polusi, para pejabat negara akan menjawab seperti Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, "Saya tiup saja."



Berita Lainnya
  • Kaya sebelum Tua

    01/8/2024 05:00

    JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.

  • Kisah kian Resah Kelas Menengah

    31/7/2024 05:00

    ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.

  • Tambang Berkemajuan

    30/7/2024 05:00

    DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.

  • Pensiunan Agung

    29/7/2024 05:00

    “APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.

  • Resah Gongahwah

    27/7/2024 05:00

    SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.

  • Jangan Panggil Dia Profesor

    26/7/2024 05:00

    WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.  

  • Antara Miskin dan Bahagia

    25/7/2024 05:00

    SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta

  • Horor Guru Honor

    24/7/2024 05:00

    SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran

  • Welcome Kamala Harris

    23/7/2024 05:00

    Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.

  • Lucu-Lucu Mobil Dinas

    22/7/2024 05:00

    HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.

  • Ma’ Olle Salamet Tengka Salana

    20/7/2024 05:00

    ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu

  • Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor

    19/7/2024 05:00

    TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya

  • Kamar Reyot Senator

    18/7/2024 05:00

    DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.

  • Jiwa Besar

    17/7/2024 05:00

    BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.

  • Kemerdekaan Hakim Eman

    16/7/2024 05:00

    Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

  • Dokter di Balik Harga Obat Mahal

    15/7/2024 05:00

    INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.