Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
JUDUL di atas mengasumsikan bahwa politik amat determinan terhadap hukum. Politiklah yang mengatur hukum. Bukan sebaliknya, atau setidak-tidaknya politik tunduk pada aturan-aturan hukum. Politik bisa memborgol hukum dengan alasan apa pun. Pada saat itu, hukum harus tunduk pada kemauan politik.
Ketika hukum takluk dalam ketiak politik, pada saat itu pedang hukum akan amat tajam terhadap lawan politik. Sebaliknya, terhadap kawan yang seiring sejalan, yang seia sekata terhadap apa maunya penguasa politik, pedang hukum amat tumpul. Bahkan, sang pedang mudah bersalin rupa menjadi tameng pelindung bagi sekondan setia kekuasaan.
Praktik-praktik seperti itu pernah kita alami, dulu. Ya, dulu saat rezim Orde Baru berkuasa. Hukum dikeluhkan karena kerap menjadi alat kekuasaan. Hukum benar-benar dalam borgol politik kekuasaan. Hanya kroni yang berhak mendapatkan keadilan, sedangkan yang berani melawan siap-siap diperlakukan sewenang-wenang.
Di era itu, jangan sekali-kali berani berbeda dengan penguasa. Bila rezim bilang kuning itu warna paling indah, semua mesti sepakat. Kalau ada yang bicara bahwa warna terindah ialah hijau, pedang hukum langsung 'menebasnya'.
Bangsa ini telah mengalami situasi politik hukum tidak sehat. Ya, tidak sehat sebab kepentingan individu atau kelompok lebih diutamakan jika dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Amanat konstitusi tidak dihiraukan dengan cermat dan sehat, bahkan tidak sedikit melanggar atau mengelabui hukum agar kekuasaan dan kepentingan selamat.
Tidak sedikit pula hukum yang dibuat sangat sarat kepentingan politik sehingga merugikan rakyat. Ini menandakan bahwa politik kekuasaan Orde Baru memang memiliki power lebih kuat ketimbang hukum.
Karena itulah, rakyat sepakat mengoreksinya. Hari ini, seperempat abad yang lalu, kita mendeklarasikan era baru. Reformasi namanya. Salah satu yang hendak didudukkan pada posisi yang tepat ialah hukum harus menjadi payung dan alat keadilan.
Tekad mendudukkan Indonesia menjadi negara yang berdasarkan hukum (rechsstaath) digemakan di mana-mana. Banyak yang berseru bahwa segala tindakan dan kebijakan suatu negara haruslah berdasarkan hukum. Politik kekuasaan yang dijalankan negara dibatasi oleh hukum. Politik tidak boleh lagi memborgol hukum demi menegakkan keadilan.
Kini, setelah 25 tahun berlalu, sudahkan semua tekad itu mewujud? Atau, masih baru secuilkah yang terlaksana? Atau, jangan-jangan sekadar bersalin pemegang kuasa, tapi substansinya masih sama saja? Sudah tidak adakah yang menjadikan hukum sebagai alat penekan untuk bargaining politik?
Dengan masih banyaknya pertanyaan yang menggelayuti sebagian anak bangsa ini, kiranya bisa saya simpulkan masih ada yang belum sepenuhnya beres dari ikhtiar mendudukkan hukum sebagai payung dan alat keadilan. Lebih-lebih, dalam praktik politik saat ini. Ada perasaan dan nuansa yang dirasakan sebagian anak bangsa ini bahwa hukum masih kerap ditekuk (dibuat bertekuk lutut) di hadapan kekuasaan politik.
Potongan sajak yang ditulis mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana berikut ini kiranya mewakili suara mereka yang merasakan kekalahan hukum oleh politik. Dalam sajak berjudul Korupsilah dalam Pelukan Koalisi itu Denny menulis:
Inilah kisah sensasi
Kala korupsi punya kawan bernama koalisi
Ketika korupsi punya lawan bernama oposisi
Korupsilah, tapi dalam pelukan koalisi
Karena jika nekat di barisan oposisi, korupsi berarti bunuh diri.
Inilah kisah sensasi
Ketika Anda diborgol karena beda posisi
Sedang yang di Istana bebas ngobrol diskusi strategi kontestasi, sambil minum kopi.
Jadi, masalahnya bukan korupsi
Salahnya ketika membentuk barisan sendiri
Tiba-tiba meloncat ke oposisi
Mencelat keluar dari strategi
Jadilah konsekwensi
Tangan tak bergerak dikunci.
Itukah yang saat ini terjadi? Semoga tidak seperti itu. Bila begitu kenyataannya, reformasi sedang dikebiri. Kakinya terus diamputasi. Darah dan nyawa pahlawan reformasi dikhianati, lalu reformasi pun dihabisi dan mati.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved