Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KATA para tetua, ilmu dan akhlak tak boleh dipisahkan, mesti melengkapi, harus saling menguatkan. Tiada guna orang berilmu tapi tak punya akhlak, tak memiliki adab. Kurang paripurna pula orang berakhlak tapi tak berilmu.
Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh. Begitu Albert Einstein bilang. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lebih tegas lagi.
Menurut sufi termasyhur yang lahir pada 1077 Masehi di Kota Na'if, Gilan, yang sekarang menjadi Provinsi Mazarandan di Iran itu, orang berilmu sama sekali tak berharga jika tak dibarengi dengan akhlak yang kuat. "Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia," ucapnya.
Einstein dan Abdul Qadir Jailani tentu tak ingin menegasikan orang berilmu, orang-orang pintar. Keduanya hanya ingin mengingatkan, cuma hendak menegaskan, bahwa ilmu tanpa adab hanya akan mengantarkan pada kerusakan. Sejarah kemudian mencatat betapa ilmu tanpa dibarengi dengan akhlak yang baik berujung pada petaka, bermuara pada kebinasaan banyak sekali umat manusia.
Peringatan Einstein dan Abdul Qadir Jailani itu memang sudah ratusan tahun silam diucapkan. Namun, ia kiranya tak lekang oleh zaman, termasuk di negeri ini, di Tanah Air tercinta ini.
Bangsa ini pernah direpotkan oleh orang-orang berilmu. Ambil contoh Yusuf Leonard Henuk. Yusuf adalah seorang profesor, guru besar di Departemen Ilmu Peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan. Sebagai guru besar, dia tentu pintar. Akan tetapi, soal adab, banyak yang menyoal.
Suatu kali, Yusuf menghina SBY di medsos. Dia menjuluki SBY bapak mangkrak Indonesia. Dia juga menyebut SBY dan putranya, AHY, bodoh. Di lain hari, dia berkicau tentang mantan komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dengan nada rasial. Orang yang rasis tentu dipertanyakan adabnya, akhlaknya.
Ada juga Prof Budi Santoso Purwokartiko. Guru besar yang satu ini adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK). Sebagai guru besar, apalagi rektor, Pak Budi tentu pandai. Akan tetapi, soal adab, dia juga dipermasalahkan.
Prof Budi pernah membuat bangsa ini geleng-geleng kepala. Pangkalnya, dia menuangkan pengalamannya mewawancarai mahasiswa terkait program beasiswa LPDP yang dinilai menyudutkan pihak tertentu, juga rasis.
Sekadar mengingatkan, dia menulis, 'Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya’. Ada pula narasi, “Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind.”
Begitukah akhlak seorang berilmu? Harus menghina orang lain yang punya keyakinan berbedakah sebagai orang pintar? Itu belum seberapa. Yang terakhir ini lebih parah lagi. Dialah Andi Pangerang Hasanuddin.
Andi memang bukan profesor, bukan guru besar. Namun, dia juga orang pintar, orang berilmu. Kalau tidak pintar, kalau tidak berilmu, sulit rasanya dia bisa menjadi peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Akan tetapi, soal adab, perihal akhlak, Andi disebut tak beda dengan preman.
Demi membela seniornya di BRIN, Thomas Jamaluddin, yang diserang netizen karena berkomentar yang menyudutkan Muhammadiyah terkait dengan hari Idul Fitri 1444 H, Andi menghalalkan darah Muhammadiyah. Dalam narasinya di Facebook, dia siap membunuh satu per satu warga Muhammadiyah. Begitukah seorang intelektual yang punya adab? Edan.
Orang pintar tapi tak berakhlak amat berbahaya. Orang-orang seperti itu pantang dibiarkan. Saya mengapresiasi Polri yang akhirnya menangkap, menersangkakan, dan menahan Andi untuk diproses hukum. Langkah tegas itulah yang semestinya juga dilakukan untuk kasus yang dulu-dulu agar orang-orang berilmu menjaga akhlak, mengedepankan adab.
Suatu kaum, sebuah bangsa, butuh orang-orang pintar untuk bisa menjadi besar. Demikian halnya bangsa ini. Tetapi yang kita perlukan wong pinter yang bener, bukan pinter tapi keblinger.
Mendiang Mbah Moen pun pernah memberikan wejangan, "Tinimbang dadi wong pinter ning ora bener, luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter (ketimbang jadi orang pintar tapi tidak benar lebih baik menjadi orang benar meskipun tidak pintar).” Kalau pepatah Arabnya kira-kira al adabu fauqol 'ilmi (adab lebih tinggi daripada ilmu).
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved