Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
PEKAN lalu saya bertemu dengan kawan lama, seorang dosen. Ia tengah galau. Pangkal soal kegalauannya ialah arah demokrasi kita yang, menurut dia, kian tidak menentu. Ia membahasakannya: demokrasi kita 'dibajak' elitenya elite.
Dengan menggebu-gebu ia mengisahkan bagaimana elitenya elite itu mendiktekan capres-cawapres Pilpres 2024 sesuai kehendaknya. Ia juga bercuriga elitenya elite itu berusaha menggagalkan laju capres tertentu yang dianggap bisa membahayakan kelangsungan pemerintahan saat ini.
Maka, bagi sang teman, perhelatan demokrasi kita tahun depan terancam tanpa kontestasi. "Saya risau, para pemilih kita tidak punya pilihan alternatif. Kalau caranya begini, bisa-bisa kita hanya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dipaksa manut saja," sang teman memaparkan.
"Loh, bukannya sejumlah indikasi telah mengarah kepada munculnya sejumlah calon? Bukan calon tunggal?" Saya menyergahnya.
Ia menjawab bahwa sebagian calon yang ada sudah 'disediakan' oleh elitenya elite tadi. Di sisi lain, jalan calon alternatif dibikin sempit, terjal, licin, berbatu, dan seterusnya yang mengarah kepada penjegalan. Jika kondisi seperti itu terus berlangsung hingga hari H nanti, tegas sang teman, sama saja demokrasi kita tanpa kontestasi.
Padahal, ia meneruskan, demokrasi pada hakikatnya ialah menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi tertinggi di pemerintahan. Hingga saat ini, demokrasi masih dianggap sebagai sebuah sistem politik yang terbaik di beberapa negara.
Sebagai bentuk dari sistem politik, demokrasi mensyaratkan adanya keterlibatan masyarakat dalam memilih calon pemimpin yang sedang bersaing memperebutkan jabatan publik di suatu pemerintahan sehingga dapat disimpulkan terdapat dua unsur penting dalam penerapan pemilihan umum, yaitu adanya unsur partisipasi masyarakat dan kontestasi dari para calon peserta pemilihan.
"Secara normatif, ketiadaan kontestasi dalam sebuah pemilihan (uncontested election) mencederai roh sebuah demokrasi. Sejatinya, rakyat diberikan hak dan kesempatan yang sama dalam memilih berbagai pilihan alternatif," sang teman yang dosen itu memberondong saya dengan penjelasan.
Ketiadaan kontestasi dalam pemilihan, ia melanjutkan, merupakan sebuah kebuntuan demokrasi yang perlu didobrak. Jangan sampai, jelasnya, demokrasi kita mengarah ke situasi post-democracy (istilah yang dipopulerkan oleh Colin Crouch, seorang sosiolog Inggris yang juga pengamat demokrasi).
Post-democracy memiliki kecenderungan di antaranya ialah kondisi ketika keterlibatan masyarakat dalam dunia politik bersifat terbatas atau artifisial saja. Hampir semua aspek kehidupan politik ditentukan oleh elite, khususnya elitenya elite (creme a la creme). Dalam situasi tersebut, visi dan gerak politik lebih ditentukan oleh saran-saran political advisor yang berorientasi mengakomodasi kepentingan elite dan oligarki ketimbang kepentingan riil masyarakat akar rumput.
Dalam post-democracy, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth) dalam berpolitik. Hal ini terjadi karena pada kondisi post-democracy, pertarungan ide tidak diperlukan. Yang terpenting ialah bagaimana membangun pencitraan dan memenangi emosi pemilih dengan janji-janji politik yang menggiurkan. Berkembang sebuah kontestasi seputar meningkatkan citra diri dan menjatuhkan kelompok lawan, yang akhirnya berujung pada pembodohan dan penurunan kualitas demokrasi.
"Saya takut, kegalauan saya ini juga menggelayuti pikiran banyak orang. Bisa-bisa muncul gejala people ignorance. Dalam banyak momen politik, antusiasme berpolitik masyarakat akan menurun," tanpa henti sang teman nyerocos dengan aura pesimisme yang, menurut saya, kelewat batas.
Selama tiga jam, saya menjadi pendengar setia. Kopi hitam sudah berkali-kali kami seruput, hampir menyisakan cekakik (ampas kopi). Gerah juga mendengarkan orang berbicara pesimistis sepanjang pertemuan.
Dengan kalimat singkat, saya menyela, "Politik kita itu dinamis. Kerap zigzag dan penuh kejutan. Jangan melihat politik kita linear seperti rel kereta api. Politik kita kerap seperti hujan sehari yang menghapus panas setahun. Jadi, ojo nggumunan, ojo kagetan (jangan cepat takjub, jangan mudah terkejut)."
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved