Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SEORANG teman mengunggah status di akun Facebook-nya bernada kekecewaan yang amat dalam. Kata dia, “Baru kali ini orang keluar Sukamiskin seakan jadi pahlawan. Aya-aya wae.”
Tidak dijelaskan siapa orang itu. Tidak dijabarkan apa itu Sukamiskin. Namun, tak sulit untuk menebak apa yang dia maksud. Saya yakin, hakulyakin, dia sedang menyoal bebasnya Anas Urbaningrum dari LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Anas adalah aktivis, eks Ketua Umum Partai Demokrat, dan mantan koruptor. Pada Selasa (11/4), dia selesai menjalani hukuman penjara total 9 tahun 3 bulan karena melakukan tindak pidana korupsi. Karena kasus korupsi, dia mendekam di LP Sukamiskin yang memang disediakan pemerintah untuk mengurung para pelaku korupsi.
Bebas dari penjara, jika sudah saatnya tiba, adalah hal biasa. Tak perlu ditanya-tanya. Akan tetapi, bebasnya Anas patut dipertanyakan. Bukan soal waktunya. Model penyambutan kebebasannya yang dipersoalkan.
Kalau biasanya mantan terpidana cukup dijemput keluarga, saudara, atau teman, Anas tidak. Dia disambut ratusan orang. Dia dielu-elukan para loyalis dan simpatisannya.
Kalau biasanya mantan terpidana cukup peluk cium dengan kerabat atau bersujud tanda syukur, Anas beda. Dia juga menyampaikan orasi. Orasi yang antara lain menarasikan bahwa kamusnya adalah perjuangan keadilan dan akan terus memperjuangkan keadilan. Orasinya juga berisi sentilan kepada pihak-pihak tertentu yang katanya kecewa karena dia tidak membusuk, tidak menjadi bangkai fisik dan sosial, di penjara.
Koruptor bebas, tapi disambut bak pahlawan. Itulah yang kemudian membuat banyak orang tak habis pikir, kecewa, marah, geram. “Aneh ya, koruptor zaman now malah disambut seperti pahlawan pulang dari medan juang,” begitu komentar seorang netizen. Atau, “Heran di mari koruptor dipuja-puja.” Ada pula yang berkomentar singkat, “Wis embuh lah,” dengan emoji orang menangis. Dia sepertinya frustrasi.
Banyak pula yang mempersoalkan media, termasuk yang arus utama, lantaran memberikan panggung nan lapang untuk mantan koruptor menari. Paketnya komplet, dari sebelum, saat hari-H, dan setelah kebebasan Anas. Bahkan ada yang menyajikan laporan khusus dengan wawancara khusus.
“Enaklah di sini, mantan2 korup malah jd idola makin top bnyk panggilan wawancara''. ''Media2 indonesia jg harus ada tanggung jawab moral untuk menumpas korupsi dng tdk usah menampilkan para koruptor ke publik....'' Itulah beberapa komentar yang ditulis netizen.
Tanggung jawab moral? Memang itulah yang semestinya jadi pegangan.
Sebagai pekerja media, saya risih, juga malu. Sama risihnya ketika sejumlah media menghamparkan karpet merah menyambut kebebasan eks penjahat seksual terhadap anak, pedangdut Saipul Jamil, pada 2021.
Aneh nian terpidana kejahatan luar biasa, termasuk korupsi, malah diglorifikasi. Kasus Anas pun bukan yang pertama kali. Dulu, September 2013, ratusan warga berjejer di luar Rutan Rowobelang sembari memainkan rebana menyambut bebasnya mantan Bupati Batang, Jawa Tengah, Bambang Biantoro. Bambang dipenjara 18 bulan karena korupsi APBD 2004.
Perihal Anas, dia boleh merasa dizalimi, dikriminalisasi, masuk penjara karena campur tangan kebatilan. Namun, pengadilan telah memutuskan dia bersalah dan terbukti korupsi.
Putusan itu sama di semua jenjang pengadilan, mulai tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Yang beda cuma berat ringannya hukuman. Putusan itu buah dari perdebatan hukum, hasil dari adu fakta, adu bukti, adu saksi. Jadi, buat apa diperdebatkan lagi.
Betul kata banyak orang bahwa Indonesia adalah surganya koruptor. Di sini, penyikapan dan penanganan korupsi memang luar biasa. Luar biasa lembeknya. Rata-rata tuntutan dan vonis terhadap mereka enteng-enteng saja. Korting hukuman menjadi obralan. Di penjara, mereka diistimewakan. Setelah bebas pun tetap mendapat penghormatan.
Hampir 900 tahun silam, Prabu Jayabaya, Raja Panjalu atau Kediri yang bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, sudah mengingatkan bahwa suatu saat akan terjadi wolak-walikin zaman. Zaman yang terbalik-balik.
Ada ratusan ramalan dalam Jangka Jayabaya. Sebut saja wong bener thenger-thenger, yang artinya orang yang benar termangu-mangu. Atau, wong salah bungah (orang yang salah bergembira ria), wong jahat munggah pangkat (orang jahat naik pangkat), wong ala kapuja (orang jahat dipuja-puja), dan wong salah dianggep bener (orang salah dianggap benar).
Jika menilik sekian jangka itu, kiranya zaman ini di negeri ini sudah kebalik-balik. Pergeseran nilai sudah teramat parah dan berbahaya.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved