Jangan Cemas Turun Kelas

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
10/7/2021 05:00
Jangan Cemas Turun Kelas
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

HARI-HARI ini, sekujur negeri ini membutuhkan suntikan harapan. Perlu energi positif dan spirit optimisme dari berbagai lini, terutama dari para elite di negeri ini. Bukan sebaliknya, ujaran pesimisme, ungkapan patah harapan, apa lagi provokasi dan caci maki.

Kian masifnya penyebaran virus covid-19, tingginya angka kematian akibat korona, kekurangan oksigen di berbagai tempat, sesaknya ranjang rumah sakit, hingga klasifikasi turun kelas dari Bank Dunia terhadap Indonesia tak lantas membuat semuanya kiamat. Syaratnya, kita setop menggali lubang kuburan harapan lewat pesimisme berlebihan. Tiap-tiap orang mari mengambil peran menyalakan sumbu harapan.

Bagi saya, apa yang Bank Dunia (World Bank) nyatakan dalam rilisnya pekan ini, yang menurunkan status Indonesia dari kelompok negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income) sejak 2019 menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income) pada 2020 tak usah teramat dirisaukan.

Mengapa? Karena hampir semua negara mengalaminya. Bahkan, beberapa negara mengalami penurunan gross national income (GNI) dobel digit hingga lebih dari US$2.000 per kapita pada 2020. Indonesia, dalam klasifikasi Bank Dunia, mengalami penurunan GNI yang tipis: dari US$4.045 ke US$3.870 per kapita per 2020.

Bank Dunia memiliki klasifikasi negara berdasarkan pendapatan nasional kotor (GNI) per kapita dalam empat kategori. Pertama, negara berpenghasilan rendah (low income country) dengan GNI per kapita US$1.035. Kedua, negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan GNI per kapita US$1.036-US$4.045.

Ketiga, negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country) dengan GNI per kapita US$4.046-US$12.535. Keempat, negara berpenghasilan tinggi (high income country) dengan GNI per kapita sebesar US$12.535. Beberapa komponen penghitungan Bank Dunia, antara lain, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan populasi yang dipengaruhi GNI per kapita.

Saya sudah menduga bahwa laporan Bank Dunia ini akan memantik dramatisasi. Meskipun diam-diam saya menyimpan harapan dalam situasi pasokan optimisme yang kian berkurang, elite tidak menjadikan 'cap' dari Bank Dunia itu sebagai bahan bakar untuk melancarkan serangan kepada pemerintah.

Namun, sepertinya dugaan saya lebih nyata ketimbang harapan. Tidak usah menunggu lama, 'serangan' mulai datang dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pimpinan partai yang mengeklaim berada di posisi 'tengah' (pendukung pemerintah bukan, disebut oposisi ogah), itu melalui akun Twitter pribadinya, pada Rabu (7/7), berkicau seharusnya Indonesia bisa naik kelas, tidak tinggal kelas, apalagi turun kelas.

Ia menautkan berita ini dengan mempertanyakan keberhasilan pemerintah menanggulangi pandemi yang semakin memakan banyak korban dan meluluhlantakkan ekonomi masyarakat. ‘Masalah gentingnya, bukan di mana status kelas kita saat ini, tapi mampukah negara menyelamatkan rakyatnya dari covid?’ tulisnya.

Dalam situasi kegawatdaruratan bangsa, alangkah eloknya bila AHY lebih fokus mempertanyakan soal 'apa yang bisa kami bantu untuk bangsa dan negara'. Pertanyaan itu, hari-hari ini, jauh lebih berguna dan bisa menyelamatkan nyawa manusia bila diikuti aksi nyata.

Penurunan status Indonesia dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah tidak perlu dikhawatirkan. Indonesia juga sempat mengalami hal serupa dan kembali bangkit, yakni ketika dihantam krisis pada 1998.

Saat itu pendapatan per kapita kita pernah turun dari US$1.036 pada 1997 menjadi US$570 pada 1998. Ketika itu, ekonomi kita terkontraksi 13,1% pada 1998 akibat krisis ekonomi dan guncangan nilai tukar. Namun, setelah krisis, kita bangkit dengan pertumbuhan rata-rata per tahun 5%.

Sejarah telah membuktikan bahwa suara optimisme, energi dari harapan kebangkitan, membuat negeri ini benar-benar bangkit. Warisan terkuat mentalitas bangsa Indonesia ialah 'politik harapan' (politics of hope), bukan politik ketakutan (politics of fear). Dalam politik harapan, kata pemikir lulusan University of Missouri Donna Zajonc, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima