Bukan Koalisi Ideologis, melainkan Koalisi Pragmatis

Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group
04/6/2021 05:00
Bukan Koalisi Ideologis, melainkan Koalisi Pragmatis
Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group(MI/EBET)

DI negara-negara yang demokrasinya sudah maju, kita mudah membuat kategori ideologis partai-partai politik. Di Amerika, kita dengan gampang mengategorikan Partai Demokrat berideologikan liberal dan Partai Republik berideologikan konservatif. Di Inggris, kita dengan enteng mengategorikan Partai Buruh dan koalisinya berideologikan liberal dan Partai Konservatif, serta koalisinya berideologikan konservatif.

Di Indonesia masa demokrasi liberal 1950-an, kita dengan mudah mengategorikan Partai Nasional Indonesia berideologikan nasionalis, Masyumi dan Nahdlatul Ulama berideologikan Islam, dan Partai Komunis Indonesia berideologikan komunis.

Di Indonesia masa Orde Baru tidak mudah kiranya membuat kategori ideologis partai-partai politik kita. Kita bisa mengategorikan Partai Persatuan Pembangunan berideologikan Islam.

Namun, kita menghadapi kesulitan membedakan ideologi Partai Demokrasi Indonesia dan Golkar. Pun muncul persoalan bila kita mengategorikan kedua parpol berideologikan sekuler berhadapan dengan PPP yang berideologikan agama (Islam). Persoalannya ialah PDI hasil fusi partai nasionalis dan partai Kristen.

Di Indonesia masa Reformasi, kita gampang membuat kategori ideologis parpol-parpol kita dalam tataran formal-teoretis. Kita mudah saja mengategorikan PPP dan PKS berideologikan Islam dan PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, Demokrat berideologikan nasionalis.

Namun, kita menghadapi kesulitan menyusun kategori ideologis parpol-parpol kita dalam tataran praksis. Untuk menjaring pemilih muslim, misalnya, sejumlah parpol menyebut diri sebagai partai nasionalis-religius. Dalam Pilpres 2014 dan 2019, Gerindra dan parpol-parpol koalisi pendukung Prabowo menggunakan idiomidiom Islam untuk menyerang rivalnya, Jokowi, sekaligus menarik pemilih muslim.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan partainya nyaman membentuk koalisi ideologis dengan Gerindra, PKB, PAN, dan PPP. PDIP, kata Hasto, tidak mungkin berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS karena perbedaan ideologi. Betulkah itu koalisi ideologis mengingat PDIP, Gerindra, PKB, dan PAN berideologikan nasionalis, sedangkan PPP berideologikan Islam? Bukankah semestinya PDIP juga nyaman berkoalisi dengan Partai Demokrat karena sama-sama berideologikan nasionalis?

Kita bisa menerima bila PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan PKS karena perbedaan ideologi. Akan tetapi, PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan Demokrat kiranya lebih disebabkan ‘pertengkaran’ Megawati dan SBY yang sulit didamaikan daripada perbedaan ideologis. PDIP nyaman berkoalisi dengan Gerindra karena Megawati dan Prabowo kiranya sepakat melangsungkan rujuk politik menuju Pemilu 2024 setelah ‘bercerai’ di Pilpres 2014 dan 2019.

Koalisi serupa juga terjadi di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat berkoalisi dengan Partai Golkar, PKB, PAN, PPP, dan PKS. Itu bukan koalisi ideologis, melainkan koalisi ganjil karena terjadi kawin campur partai berideologikan nasionalis dan partai berideologikan Islam. Parpol-parpol kita kiranya permisif dan pragmatis, tidak rigid, dalam membentuk koalisi.

Parpol-parpol berkompetisi sengit dan saling serang di pemilu legislatif. Di pemilu presiden kompetisi memudar berganti dengan kerja sama. Kerja sama bahkan terjadi seusai pilpres, misalnya, dengan bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Persaingan sengit antara Jokowi dan Prabowo bablas dalam sekejap serupa disapu angin puting beliung. Ini menyebabkan oposisi ‘absen’.

Dasar perubahan dari kompetisi menjadi kerja sama apalagi kalau bukan kepentingan pragmatis. Kuskridho Ambardhi dalam buku Mengungkap Politik Kartel mengidentifi kasi pragmatisme perburuan rente berbagai jabatan dan anggaran menjadi landasan pembentukan koalisi.

Demokrasi modern mensyaratkan sistem kepartaian yang menghasilkan koalisi ideologis, juga oposisi ideologis supaya mekanisme check and balance berlangsung. Di Amerika, ketika Partai Demokrat berkuasa, Partai Republik beroposisi dan sebaliknya. Di Inggris, tatkala Partai Buruh berkuasa Partai Konservatif beroposisi dan sebaliknya.

Indonesia mempraktikkan, dalam istilah Kuskridho Ambardi, sistem kepartaian terkartelisasi. Sistem kepartaian semacam ini menjadikan partai serupa organisasi kartel yang berburu jabatan di kementerian dan lembaga plus anggaran negara. Maklum, kita masih berada di tengah masa transisi menuju demokrasi. Bila kita ingin menjadi negara demokrasi sesungguhnya dan seutuhnya, kita harus mengubah sistem kepartaian kita supaya tercipta koalisi ideologis, bukan koalisi pragmatis.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima