Pentas Politik Figuran Konyol

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi
15/3/2021 05:00
Pentas Politik Figuran Konyol
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi(MI/Ebet)

POLITIK itu panggung sandiwara ibarat lagu yang ditulis Ian Antono dan Taufiq Ismail berjudul Panggung Sandiwara. Syair lagu itu, antara lain, ceritanya mudah berubah-ubah. Ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura.

Ceritanya mudah berubah-ubah, bermula dari perebutan kekuasaan. Digelar kongres luar biasa lalu mempersoalkan legalitasnya. Ada yang kukuh mempertahankan legalitasnya, ada pula yang menyebutnya sebagai abal-abal. Ada yang membantah kudeta partai politik tertentu, tetapi kemudian tampil sebagai komandannya.

Perang kata dan wacana belumlah cukup. Ceritanya masuk ranah hukum. Ada yang melaporkan ke polisi soal dugaan pemalsuan mukadimah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Lawan politik mendaftarkan gugatan ke pengadilan negeri, menggugat mereka yang dituduh bertanggung jawab atas brutalitas demokrasi.

Pada saat hampir bersamaan, ini menyangkut partai lain lagi, mereka yang terlibat konflik berkepanjangan malah mengaku lelah. Mereka memilih bersatu. Mereka menyapa satu sama lain sebagai sahabat, dalam nada guyon disebut sebagai teman berantam. Mereka bersatu untuk menatap masa depan.

Politik yang membelah, tapi juga bisa menyatukan itu sarat dengan hiruk-pikuk. Yang gampang jadi rumit, yang transparan jadi gelap, dan yang gelap menjadi misteri. Ujung-ujungnya, jika kepentingan berbeda bertemu pada satu titik, tiba-tiba semua melihat cahaya di mulut lorong yang gelap.

Politik sebagai panggung sandiwara itu mudah berubah, seperti kata lagu, karena ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura. Dengan meminjam istilah Erving Goffman, individu berbeda karakter ketika berada di panggung depan dan panggung belakang.

Biasanya di panggung depan itu kebanyakan politikus mengenakan topeng, muka digincu, dan kata ditata agar elok dipandang. Itu pada saat mereka mampu menjaga akal waras.

Lain lagi kalau tampil adanya apa, bukan apa adanya tanpa merawat akal waras. Saking menggebu-gebu, keluar ancaman akan mengirim santet. Mereka yang alumni Sukamiskin tampil di pangung politik sambil berteriak moral sampai urat leher mau putus. Padahal, mereka berada di Sukamiskin, sel khusus koruptor di Bandung, karena persoalan moral alias terlibat korupsi.

Panggung politik itu benar-benar kehilangan kendali peradaban di tangan orang-orang yang belum matang berpartai. Politik sebagai seni menggapai dan mempertahankan kekuasaan telah dipentaskan di atas panggung secara liar dan brutal. Kehilangan kendali peradaban itulah, dalam bahasa Bung Karno, penyakit partai.

Presiden Soekarno marah besar kepada partai politik. "Ke luar kita selalu berkata: bersatu, bersatu, bersatu! Bahkan aktif mempersatukan, aktif mempersatukan! Paradoks ke dalam bagaimana, Saudara-Saudara? Kita sikut-sikutan satu sama lain!”

Bung Karno melanjutkan pidatonya pada 1956 itu. "Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit apa? Penyakit kepartaian Saudara-Saudara! Ya, terus terang saja Saudara-Saudara: penyakit kepartaian!"

Tentu saja kita tidak setuju dengan teriakan Bung Karno karena parpol saling sikut dan berkonflik, "Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!"

Partai politik tidak boleh dikubur karena tidak ada demokrasi tanpa partai. Kata Thomas Meyer, partai politik merupakan satu-satunya pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan dan nilai-nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Peran itu tidak bisa dikudeta oleh masyarakat madani.

Kita mendorong partai untuk dewasa menyelesaikan persoalan internal. Bagaimana bicara persatuan dan kesatuan bangsa jika internal partai tidak mampu merawat persatuan dan kesatuan? Tidak ada pemenang dalam sebuah konflik, yang pasti partailah yang kalah.

Percikan pikiran Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti bisa dijadikan pertimbangan. Ensiklik yang diteken pada 3 Oktober 2020 itu menyebutkan bahwa politik harus berpusat pada martabat manusia dan tidak tunduk pada ekonomi.

“Politik yang lebih baik merupakan salah satu bentuk amat berharga dari karya kasih, karena melayani kesejahteraan bersama dan mengakui pentingnya orang-orang. Politik memberi ruang untuk diskusi dan dialog,” kata Fransiskus. Partai mestinya juga menjaga dan meninggikan harkat dan martabat manusia.

Diskusi dan dialog itulah yang kian menghilang dari tradisi partai politik. Pertukaran gagasan diganti dengan pertukaran kepentingan. Motif ekonomi dan kekuasaan mulai mengingkari bahkan menginjak-injak martabat manusia.

Mereka yang tampil di atas panggung sandiwara politik ialah figuran-figuran konyol. Pertarungan politik yang sesungguhnya ialah dalang di belakang layar dan hingga sekarang sang dalang belum nongol batang hidungnya.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima