Demokrasi Ambyar

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
10/3/2021 05:00
Demokrasi Ambyar
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

YANGON dan Mandalay, bagi Khin Lay, serupa padang Kurusetra. Dalam pewayangan, Kurusetra adalah sebuah palagan peperangan besar Pandawa melawan Kurawa. Yang pertama melambangkan keagungan dan kebenaran, sedangkan yang kedua menggambarkan kejahatan dan kebengisan.

Khin Lay, bersama ribuan demonstran penentang kudeta militer Myanmar, hari-hari ini sangat diliputi keresahan. "Penumpasan dan penindasan terhadap pengunjuk rasa oleh polisi dan tentara terhadap pemrotes semakin brutal. Di Yangon dan Mandalay, mereka menembaki pengunjuk rasa yang menggelar aksi secara damai, tanpa kekerasan," ungkap Khin Lay.

Gelombang protes menentang kudeta militer di Myanmar memang tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera surut, bahkan bertambah besar. Sudah lebih dari 40 demonstran tewas ditembus timah panas sejak aksi menentang junta militer 1 Februari lalu. Inilah aksi terbesar di Myanmar sejak Revolusi Saffron menentang rezim militer pada 2007 yang dipimpin barisan biksu Buddha berkain oranye.

Protes massal ditandai dengan gerakan pembangkangan sipil, belakangan semakin dihadapi dengan unjuk kekuatan oleh aparat keamanan.

Pemerintahan militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing berkali-kali mengingatkan bahwa pihak berwenang tak akan segan-segan mengambil tindakan 'tegas' guna mengendalikan unjuk rasa jika terus berlanjut.

Dalam pidato yang disiarkan televisi negara pada Senin (1/3), Panglima Angkatan Bersenjata Min Aung Hlaing mengatakan pemimpin protes dan 'penghasut' akan dihukum.

Namun, protes tak kunjung reda. Kemarahan demonstran memuncak saat Kyal Sin, gadis 19 tahun, yang ditembak mati pada pekan lalu, jenazahnya dilaporkan digali lagi oleh aparat Myanmar. Mempunyai panggilan Angel, Kyal tewas dengan luka di kepala pada Rabu (3/4), dan menjadi ikon gerakan penentang kudeta. Penggalian kembali jenazah Kyal menuai kemarahan publik, yang menyebut junta militer berusaha menyembunyikan kejahatan mereka.

Mereka yang marah salah satu di antaranya Khin Lay, salah seorang aktivis yang kerap berorasi di tengah massa dan juga di depan perwakilan sejumlah negara di Yangon, termasuk Kedutaan Besar Indonesia.

Pesannya jelas, "Tolong jangan berbicara dengan pihak militer dan hormatilah suara kami, rakyat Myanmar."

Suara yang dimaksud ibu berusia 50 tahun itu ialah hasil pemilu pada 8 November 2020 yang kembali dimenangi secara mutlak oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Namun, oleh kubu oposisi dan militer, hasil pemilu tersebut dinyatakan tidak sah dengan alasan diwarnai kecurangan, kendati Komisi Pemilihan Umum setempat menampik tudingan itu. Sengketa hasil pemilu lantas digunakan sebagai landasan perebutan kekuasaan oleh militer pada 1 Februari 2021, bertepatan dengan hari pertama sidang parlemen baru.

Peta sosial politik antara Myanmar sekarang dan Indonesia pada 1998 ketika gelombang demonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur sekaligus mereformasi tatanan Orde Baru, tidak sepenuhnya berbeda. Hampir semua elemen masyarakat Indonesia ketika itu turun ke jalan. Semula diawali dengan aksi damai, demonstrasi massal akhirnya berubah frontal dan tidak pelak lagi pecah kekerasan.

Praktik korupsi dan nepotisme, ditambah ada krisis ekonomi yang terjadi saat itu, tak pelak menyadarkan banyak orang bahwa Orde Baru sudah saatnya selesai. Ditambah dengan penembakan mahasiswa Trisakti, jadilah rezim yang berkuasa lebih dari tiga dekade itu tumbang. Sejak itu, demokratisasi di Tanah Air jadi pilihan yang disepakati tak akan dipukul mundur. Terlepas masih adanya persoalan pada pelembagaan demokrasi, kita patut bersyukur semua elemen di negeri ini tak tergoda untuk meniru gaya Myanmar.

Di Myanmar, transisi demokrasi sudah ambyar. Di sejumlah negara, jalan demokrasi terus dikritisi, bahkan digerogoti. Namun, tak banyak pilihan jalan yang mendatangkan kemajuan peradaban, dan demokrasi masih terbukti yang paling baik. John Jeffries Martin, profesor sejarah dari Duke University, termasuk yang optimistis demokrasi tetaplah jalan terbaik untuk keadilan dan kemajuan.

Dalam artikel yang dia tulis di Washington Post, pada 21 Mei 2019, berjudul Why Study History? Because It Can Save Us from Democratic Collapse, Martin menandaskan jika orang mau belajar pada sejarah demokrasi, khususnya sejarah gagasan demokrasi dari para 'bapak demokrasi', orang akan mendapatkan bekal yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan terhadap demokrasi yang memang selalu ada di dalamnya.

Martin percaya bahwa ide dasar demokrasi dalam wujud pembagian kekuasaan negara ke beberapa lembaga yang berbeda, merupakan pembelajaran yang cermat terhadap pengalaman sejarah manusia dalam mengelola kekuasaan. Formula demokrasi yang melahirkan mekanisme checks and balances atau saling periksa yang memunculkan keseimbangan, tidak lahir dari angan-angan kosong.

Apa yang terjadi di Myanmar, termasuk kegelisahan Khin Lay, memberi pelajaran penting bagi negeri ini untuk setia pada konsensus bersama: jalan demokrasi. Tak ada alasan untuk mundur karena anak panah demokrasi telah meluncur. Ingatlah pesan Bung Hatta, proklamator kita dalam Demokrasi Kita (1966), yang menyerukan, ‘Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan’.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima