Menghentikan Keserakahan

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
20/2/2021 05:00
Menghentikan Keserakahan
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SAYA tidak kaget saat Transparansi Internasional Indonesia (TII) mengumumkan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) kita jatuh: dari poin 40 di 2019 menjadi 37 di 2020. Karena survei TII yang diumumkan akhir bulan lalu, itu bersumber dari persepsi, wajar belaka bila hasilnya tidak melulu mencerminkan fakta.

Kalau ada yang menggugat, ‘Lo, bukannya Komisi Pemberantasan Korupsi tetap garang menangkapi pejabat, bahkan dua menteri? Kok tetap saja dianggap perang melawan korupsi melempem?’, jawabnya simpel: karena persepsi berbeda dengan fakta.

Persepsi itu kesan. Ia proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian dengan bantuan indra. Dalam bahasa psikologi, persepsi timbul karena adanya respons terhadap stimulus, sedangkan fakta merupakan kenyataan yang sulit dibantah kebenarannya.

Namun, meremehkan total persepsi tentang korupsi bisa berujung kerusakan. Survei TII bahwa indeks korupsi kita jatuh amat telak dalam 20 tahun terakhir jelas sinyal dini untuk bergegas memperbaiki metode dan strategi.

Saat sebelumnya kita sudah nyaman di rangking 85, lalu tiba-tiba ‘longsor’ ke peringkat 102 akibat nilai indeks jatuh 3 poin dalam seketika, maka itu peringatan keras. Hasil tersebut menjauh dari nilai 45 sebagai nilai rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik, serta nilai 43, nilai rata-rata indeks persepsi korupsi global.

Sekali lagi, kendati survei TII itu persepsi, tapi hasil persepsi tersebut tetap mengkhawatirkan. Apalagi, riwayat data menunjukkan penurunan kali ini merupakan yang tertinggi sejak kita memasuki transisi demokrasi. Sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, IPK Indonesia terus naik meski tipis, kecuali sekali di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat turun 1 poin (2006-2007). Lalu, naik kembali dengan lonjakan 3 poin pada 2008. Jadi, inilah kali pertama IPK Indonesia anjlok langsung 3 poin.

Muncul pertanyaan, mengapa pemberantasan korupsi belum kunjung membuat jeri? Ada yang menghubungkan dengan hukuman ringan para hakim terhadap koruptor jadi biangnya. Hasil analisis Indonesia Corruption Watch menunjukkan ratarata vonis hakim terhadap koruptor hanya 3 tahun.

Pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan. Pengadilan Tinggi menyidangkan 162 perkara. Rata-rata vonis dari putusan banding, yaitu 3 tahun 6 bulan.

Di tingkat peninjauan kembali (PK) atau kasasi pada Mahkamah Agung, terdapat 8 perkara yang disidangkan dengan ratarata vonis 4 tahun 8 bulan.

Saya setuju hukuman ringan atas koruptor menjadi musabab sepinya efek jera. Namun, itu bukan satu-satunya. Desain sistem pencegahan korupsi juga banyak menyisakan celah. Celakanya, ada kesan celah itu ‘sengaja’ dibiarkan agar praktik di ruang gelap tidak segera berlalu.

Proses lelang proyek dari penawaran hingga penentuan secara daring, misalnya, hampir selalu tidak mulus. Ada saja alasannya: dari infrastruktur yang belum siap lah, tenaga yang belum mumpuni lah, darurat lah. Padahal, sistem tersebut didesain untuk menghindari kontak langsung antara penawar proyek dan pemberi proyek agar tidak terjadi kongkalikong.

Sistem pencegahan korupsi belum bisa menghentikan keserakahan, yang dari sananya susah hilang sampai ia terbaring di sebelah ajal. Keserakahan makin menjadi-jadi saat gengsi dan hal-hal yang diyakini sebagai pencapaian ‘prestisius’ bisa diraih.

Apa perlunya pejabat dengan jam Rolex, baju Swiss Army, tas Hermes, dan sepatu Louis Vuitton, yang total jenderal harganya Rp753,6 juta? Apakah jika mengenakan itu semua bisa meningkatkan kinerja? Celakanya, uang untuk membeli barang mewah tersebut diduga dikumpulkan dari rasuah. Ada pula yang fasih berbicara tentang hubungan korupsi dan keserakahan, eh tak tahunya ia pula yang memimpin ‘penjarahan’ dana bantuan sosial negara untuk korban pandemi. Inilah yang dikhawatirkan fi lsuf tersohor Plato sebagai ‘kekayaan dan kemewahan yang mengancam’. Plato berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, karena itu manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan keserakahannya dalam memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran.

Sejalan dengan pandangan gurunya itu, Aristoteles menganggap bahwa kebutuhan manusia tidak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif tidak terbatas. Desain sistem pencegahan lah yang bakal mengeremnya, agar persepsi perang terhadap korupsi tidak muram lagi, agar koruptor benar-benar jeri.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima