Mengobati Ekonomi Terkilir

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
30/1/2021 05:00
Mengobati Ekonomi Terkilir
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SURPLUS perdagangan, di mana pun kejadiannya, mestinya disambut dengan riang gembira. Apalagi, nilai surplus tersebut lebih dari US$21 miliar (setara Rp290 triliun lebih) dan diraih di saat pandemi covid-19. Namun, di mata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, surplus dagang kita di 2020 kali ini justru mengkhawatirkan.

Saat menjadi pembicara di Media Group News Summit: Indonesia 2021 pekan ini, Pak Mendag terang-terangan menyebut surplus perdagangan kita kali ini bukan surplus yang sehat. Bahkan, menurutnya, surplus itu mengganggu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan hingga US$21,74 miliar pada 2020. Itu terjadi setelah total nilai ekspor kita sebesar US$163,31 miliar dan total nilai impor di sepanjang tahun lalu sebesar US$141,5 miliar. Data itu tidak mengagetkan karena tren menuju ke arah itu sudah terlihat saat neraca perdagangan Indonesia cenderung mengalami surplus selama tujuh bulan terakhir sejak Mei 2020.

Lalu, mengapa surplus itu justru mengkhawatirkan? Mendag M Lutfi menganalisis dengan membandingkan surplus dagang saat 2012 dengan surplus kali ini. Kata Lutfi, "Kalau waktu dulu, itu 'darah tinggi' karena overheating ekonominya. Sekarang kejadiannya justru lemah perekonomian kita, seperti 'darah rendah'."

Data menunjukkan saat Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan pada 2012, itu terjadi karena harga komoditas seperti minyak dan batu bara meningkat signifikan. Adapun pada 2020 ini, surplus terjadi ketika angka ekspor dan impor menurun tajam. Ekspor turun 2,6%, dengan ekspor nonmigas turun 0,5%, tetapi impor turun lebih jauh lagi, yakni 17,3%.

Itulah yang menyebabkan koefisien dari surplus neraca perdagangan tersebut tidak cukup menggembirakan. Turunnya impor yang cukup tajam tidak serta-merta patut disyukuri. Itu terjadi karena 70,2% barang yang diimpor oleh Indonesia merupakan bahan baku dan bahan penolong. Hanya 3% dari impor itu yang digunakan untuk kebutuhan ekspor. Sisanya digunakan bagi konsumsi dalam negeri.

Jadi, kalau impor turun 17,3%, jelas akan terjadi pelemahan terhadap sektor-sektor produksi yang dikonsumsi di dalam negeri. Tanpa bahan baku dan bahan penolong, industri tidak bisa beroperasi. Rentetannya pun ke mana-mana. Akibatnya, tidak bisa menghasilkan produk untuk dikonsumsi publik. Kalau konsumsi seret, otomatis pertumbuhan ekonomi terganggu karena penopang utama pertumbuhan ekonomi kita ialah konsumsi.

Kondisi seperti itu tak boleh didiamkan. Kalau tidak cepat bergerak, untuk jangka panjang ekonomi kita bisa kacau. Saya sepakat dengan istilah Mendag M Lutfi yang menyebut ekonomi kita sedang 'terkilir'. Ibarat tubuh, situasi terkilir memang bukan akhir segalanya, tapi jelas tidak boleh diremehkan. Kalau cuek, salah-salah bisa lumpuh.

Cara instan untuk menanganinya ialah menggerakkan masyarakat, khususnya yang punya kelebihan tabungan untuk kembali menggenjot konsumsi. Sektor yang paling cespleng mengobati keterkiliran tadi, kata M Lutfi, ialah kembali membeli otomotif. Ketika pertumbuhan kredit di bank minus, artinya orang tidak mengambil uang. Uang ditabung karena nyaris tidak ada kegiatan perekonomian.

Kondisi itu sangat tidak bagus buat perekonomian. Lalu, mengapa untuk mendongkraknya mesti membeli motor dan mobil? Jawabnya, karena di bidang otomotiflah bahan baku dan bahan penolong bergerak. Jika masyarakat belanja otomotif, lalu industri jalan, arus bahan baku dan bahan penolong lancar, maka 'sirkulasi darah' perekonomian pun juga lancar. Walhasil, ekonomi bisa lebih sehat untuk jangka panjang.

Kesimpulannya, meskipun tata kelola perdagangan itu ada di tangan Kemendag, tanpa partisipasi publik dan kolaborasi internasional, cita-cita Indonesia meraih pertumbuhan yang positif secara langgeng hanya utopia. Era kini ialah zaman kolaborasi. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk bertahan, apalagi maju.

Enam tahun lalu, peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi 2001, Joseph Eugene Stiglitz, telah mengingatkan pentingnya kolaborasi ini. Stiglitz mewanti-wanti negara maju untuk tidak hanya memikirkan kepentingan domestiknya dalam mengambil kebijakan ekonomi.

Stiglitz menekankan yang diperlukan dunia saat ini ialah kerja sama moneter secara mendunia, atau istilah dia global monetary cooperation karena apa yang diputuskan dan menjadi kebijakan ekonomi negara-negara maju ternyata telah dan akan terus memengaruhi negara-negara lainnya di dunia. Kerja sama itu perlu ditambah, bukan saja di bidang moneter, tapi juga kolaborasi perdagangan.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima