Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PILKADA 2020 yang digelar 9 Desember bersamaan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Jangan sampai pilkada yang menelan biaya mahal hanya menghasilkan kepala daerah koruptor.
Sebagai pesta rakyat, pilkada memang mahal, sangat mahal. Tentu sangat mahal dari sisi kalkulasi ekonomi. Namun, inilah ongkos yang berapa pun mahalnya harus dibayar oleh bangsa ini demi tercapainya dan terpeliharanya demokrasi lokal.
Pilkada dipilih oleh rakyat pertama kali digelar pada 2005 di 226 daerah menelan biaya Rp1,3 triliun. Lima tahun kemudian, Pilkada 2010 di 244 daerah, biaya naik menjadi Rp3,54 triliun.
Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), biaya pilkada periode 2010-2014 mencapai Rp15 triliun meliputi biaya KPU, Panitia Pengawas Pemilu, kepolisian, calon kepala daerah, dan tim kampanye.
Hasil pilkada langsung sama sekali tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap berkubang dalam kemiskinan sementara kepala daerah yang dipilih langsung itu hidup berfoya-foya dan terlibat korupsi. Data Kemendagri, dari 2004 hingga 2014, 318 kepala daerah terlibat korupsi.
Pada mulanya diyakini bahwa biaya yang selangit itu akibat pilkada digelar tidak secara serentak. Hampir setiap pekan ada pilkada di daerah yang berbeda. Karena itu, lewat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, didesain pilkada serentak nasional yang digelar pada November 2024.
Sebelum menuju pilkada serentak secara nasional, digelar pilkada serentak transisional dimulai 2015, 2017, 2018, dan 2020. Pilkada yang digelar pada 9 Desember ialah pilkada terakhir transisional. Tidak ada lagi pilkada sampai 2024.
Meski sudah digelar secara serentak transisional, biaya tak kunjung bisa ditekan. Pada 2015, diselenggarakan pilkada serentak di 269 daerah dengan biaya Rp7,09 triliun.
Pilkada 2017 yang digelar di 101 daerah menguras anggaran mencapai Rp5,96 triliun dan Pilkada 2018 di 171 daerah menelan biaya Rp15,16 triliun.
Semula, biaya Pilkada 2020 di 270 daerah dianggarkan Rp15,23 triliun diambil dari APBN dan APBD. Anggaran membengkak menjadi Rp20,46 triliun akibat adanya kebutuhan protokol kesehatan.
Dengan demikian, empat pilkada transisional sudah menguras anggaran sebesar Rp48,67 triliun. Angka yang sangat fantastis, sementara kepala daerah yang terlibat korupsi selama lima tahun terakhir mencapai 65 orang.
Biaya yang disebutkan itu yang resmi dikeluarkan negara. Belum dihitung biaya yang dikeluarkan pada calon kepala daerah. Mendagri Tito Karnavian menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati, seseorang bisa mengeluarkan kocek Rp30 miliar.
Setelah berlangsung selama lebih dari satu dekade, kata Syamsuddin Haris dalam buku Dinamika Politik Pilkada Serentak (2017), berbagai harapan dan ekspektasi atas pilkada secara langsung ternyata tidak terjadi dalam kenyataan.
“Pada umumnya pasangan calon yang diusung ataupun didukung dalam pilkada diputuskan secara terbatas oleh segelintir elite partai. Ironisnya, pilihan terhadap pasangan calon tidak semata-mata atas dasar integritas dan kapasitas atau kapabilitas, tetapi juga ditentukan oleh isi tas,” tulis Haris yang kini menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Isi tas itu dikuras untuk membayar mahar politik alias membeli dukungan partai. Berdasarkan survei KPK, harga setiap kursi berkisar antara Rp50 juta sampai Rp500 juta.
Dampak buruk pemilihan calon kepala daerah karena isi tas, bukan isi otak, ialah ketergantungan calon pada sumber pendanaan pihak ketiga. Kajian KPK menyebutkan 82% calon didanai sponsor.
Dukungan sponsor yang juga disebut cukong itu tentu saja tidak gratis. Kompensasinya, setelah terpilih dalam pilkada, kepala daerah memprioritaskan proyek-proyek pembangunan di daerah kepada cukong. Dampak berikutnya terjadi praktik suap dan korupsi yang melibatkan kepala daerah dan pengusaha.
Praktik suap menyebabkan kualitas pembangunan di daerah di bawah standar sehingga proyek hanya seumur jagung, cepat rusak. Dana-dana yang mestinya dikucurkan untuk membantu orang-orang miskin malah digarong oleh kepala daerah dan cukongnya.
Realitas itulah yang menyebabkan pilkada tidak selalu berkorelasi dengan kemakmuran rakyat. Ongkos demokrasi yang sangat mahal itu hanya untuk mengantarkan kepala daerah menjadi raja-raja lokal yang doyan upeti.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved