Persabungan Harapan dan Kecemasan

Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group
09/12/2020 05:00
Persabungan Harapan dan Kecemasan
(MI/EBET)

RAKYAT di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota sedang harap-harap cemas. Harap-harap, kalau masih punya dan ada harapan, karena mereka ingin mendapatkan pemimpin sejati melalui Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020, hari ini (9/12).

Cemas karena pilkada digelar di tengah situasi pandemi covid-19 yang masih mendaki. Pagebluk yang di negeri ini sudah berlangsung hampir 9 bulan 10 hari itu boleh jadi akan kian menyebar melalui ‘perjumpaan’ dan ‘persinggungan’ orang-orang di tempat-tempat pemungutan suara bila disiplin protokol kesehatan tidak benar-benar ditegakkan.

Dalam dua pekan terakhir saja, angka mereka yang terkonfirmasi positif covid-19 cenderung menanjak. Bila sebelumnya angka harian positif korona di level empat ribuan, akhir-akhir ini naik menjadi 5 ribuan, bahkan pernah lebih dari 8 ribu. Total yang terkena covid-19 hingga kemarin sudah lebih dari 580 ribu orang dengan korban meninggal lebih dari 17,5 ribu.

Maka, amat disayangkan jika pertaruhan kecemasan di pilkada itu gagal menelurkan pemimpin sejati. Betapa teramat mahalnya harga yang mesti dibayar bila pemimpin ‘lulusan’ pilkada serentak itu sebagian besar hanya berkelas medioker, bahkan bermutu rendah, dan itu terjadi karena salah memilih.

Siapa pemimpin berkelas medioker, bermutu rendahan itu? Jawabnya amat gamblang, yakni pemimpin yang membeli suara dengan uang. Pemimpin seperti itu ingin membeli sukses politik dengan penetrasi uang.

Padahal, dalam perhelatan politik, sukses masyarakat untuk mewujudkan harapan justru memerlukan batas moral penetrasi uang. Tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Pilkada sebagai wahana perjuangan aspirasi kolektif yang harus tunduk pada kendali kolektif tidak boleh direbut dan dikendalikan oleh uang. Pilihan politik sebagai hak dan kewajiban warga negara tidak sepatutnya dianggap private propery yang bisa diperjualbelikan, melainkan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada kebajikan kolektif.

Demi mewujudkan harapan meraih pemimpin sejati, para pemilih mesti melihat rekam jejak para calon. Kandidat pemimpin yang dipilih mestinya ialah sosok-sosok yang memiliki ‘modal tebal’. Diberi tanda kutip karena modal tebalnya bukan uang, melainkan pengalaman terlibat dalam urusan umum —melalui gagasan dan tindakan— serta kemampuan menaruh rakyat di hatinya.

Seorang sosok yang terkenal, bergelar akademik berderet, atau lulusan terbaik universitas luar negeri tidak serta merta pantas memimpin bila tanpa kecukupan jam terbang dalam urusan kebangsaan dan hal ihwal memosisikan rakyat di hatinya. Para calon kepala daerah dari menara gading kemewahan —yang tidak bisa merasakan penderitaan rakyat— tidak layak memimpin. Jadi, ya jangan dipilih.

Pemihakan terhadap urusan umum dan rakyat kecil itu penting karena demokrasi pada kenyataannya bukanlah pilihan bebas. Demokrasi itu pilihan kepentingan, terutama kepentingan kekuatan-kekuatan raksasa, baik berupa kekuatan kelompok (fundamentalisme komunal) maupun kekuatan korporasi (fundamentalisme pasar).

Alhasil, ada risiko besar yang kita pertaruhkan jika salah memilih pemimpin, yakni tergencetnya kepentingan umum dan rakyat kecil oleh fundamentalisme komunal dan pasar. Pilkada yang dinaungi kecemasan karena potensi tertularnya korona bisa saja muncul, makin memunculkan kemasygulan berkepanjangan (setidaknya lima tahun) karena memberi karpet mulus bagi para fundamentalis komunal dan pasar tadi.

Sebelum berangkat ke TPS untuk mencoblos, sempatkanlah mempertanyakan secara kritis, apakah orang-orang yang populer dan berkantong tebal itu punya rekam jejak dalam menyayangi dan melindungi kepentingan rakyat sebagai induk demokrasi atau tidak. Jadilah pemilih yang berakal sehat. Jangan menjadi bagian dari orang yang menebarkan racun di hulu dengan membiarkan kesesatan dalam menentukan kandidat pemimpin.

Dalam memilih pemimpin, ingat pesan Bung Hatta, ”Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.” Selamat mencoblos.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima