Demokrasi Deliberatif

Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group
21/10/2020 05:00
Demokrasi Deliberatif
Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group(Dok.MI/Ebet)

ADA nasihat bijak dari Sayidina Ali bin Abi Thalib untuk para pemimpin politik. Kata Sayidina Ali, "Tanamkanlah kasih sayang di hatimu terhadap rakyatmu. Janganlah sekali-kali engkau menjadikan dirimu seperti binatang buas, lalu engkau menjadikan rakyatmu sendiri sebagai mangsamu."

Hari-hari ini, sebagian rakyat yang marah menyamakan para pemimpin politik di negeri ini bak binatang buas. Mereka yang menolak lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja menuding pemerintah dan anggota DPR sedang 'mengasah taring' untuk 'memangsa' buruh lewat UU sapu jagat tersebut.

Sebaliknya, berkali-kali pemerintah, juga DPR, meyakinkan publik bahwa UU Cipta Kerja justru merupakan bentuk welas asih atau rasa kasih sayang para pemimpin terhadap rakyatnya. UU tersebut, dalam versi pemerintah dan DPR, diniatkan secara tulus demi melindungi yang lemah, memberi kepastian bagi dunia usaha, serta menyediakan lapangan kerja secara lebih luas untuk puluhan juta pencari kerja.

Lalu, mana yang benar dari dua pandangan yang bertolak belakang secara diametral tersebut? Jawabannya akan diketahui kalau semuanya mau menanggalkan egoisme dan mengendurkan urat leher masing-masing. Mari kita berdialog dalam pikiran jernih, sikap terbuka, saling respek, serta beradu argumentasi berlandaskan akal sehat.

Pemerintah telah menawarkan jalan dialog tersebut. Akhir pekan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko telah menggaransi bahwa aspirasi publik terkait UU Cipta Kerja masih terbuka untuk diakomodasi melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Setidaknya, kata mantan Panglima TNI itu, akan ada 35 peraturan pemerintah dan 5 peraturan presiden yang disiapkan sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja.

Kementerian Ketenagakerjaan juga masih memberikan kesempatan dan akses kepada para pekerja dan buruh untuk ikut memikirkan bagaimana mereka menanggapi isi UU Cipta Kerja. "UU Cipta Kerja ini merupakan sarana untuk mengangkat martabat bangsa dalam kompetisi global. Tenaga kerja kita, buruh, petani, dan nelayan tidak boleh kalah dalam persaingan. Berlakunya undang-undang ini akan menandai berakhirnya masa kemarau bahagia," kata Moeldoko sebagaimana ditulis oleh harian ini, Media Indonesia, Minggu (18/10).

Moeldoko lalu memaparkan apa yang ia maksud sebagai 'mengakhiri kemarau bahagia' itu. Ia mencontohkan satu hal, dari sisi logistik. Katanya, Indonesia masih menjadi negara dengan biaya logistik paling mahal, yakni 24% dari produk domestik bruto (PDB). Hal itu membuat Indonesia kalah bersaing jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Sebut saja Vietnam dengan biaya logistik 20%, Thailand 15%, Malaysia 13%, bahkan Jepang dan Singapura biaya logistiknya hanya 8%.

Moeldoko menyatakan bahwa UU Cipta Kerja akan memangkas ekonomi biaya tinggi seperti itu. Rantai perizinan yang panjang akan dipotong sehingga menutup peluang korupsi. ''Akibatnya, UU Cipta Kerja membuat banyak pihak kursinya panas karena kehilangan kesempatan.''

Ajakan dan penjelasan Moeldoko mestinya dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mengatasi pokok masalah dalam menafsir UU Cipta Kerja. Pokok masalah itu ialah kesenjangan bahasa. Para pemimpin politik selama ini dipersepsi cuma menguasai bahasa politik dan bahasa ekonomi.

Bahasa politik selalu bertanya, siapa yang menang (who is winning). Bahasa ekonomi selalu bertanya, di mana untungnya (where is the bottom line). Jika para pemimpin ingin beradab dalam politik, mereka harus menguasai satu bahasa lagi, yakni bahasa hikmah-kebijaksanaan yang isinya mempertanyakan apa yang benar (what is right).

Sebaliknya, di sebagian kalangan penolak UU Cipta Kerja muncul bahasa 'yang penting harus ditolak'. Makin runyam keadaannya saat dibumbui hasutan disinformasi bernuansa ajakan melanggengkan pembelahan sikap. Di lapangan, itu mewujud dalam bahasa geram dan anarki.

Padahal, sejatinya kita punya modal sosial kebajikan moral, yakni musyawarah untuk meraih permufakatan. Dalam pandangan filsuf dan sosiolog asal Jerman, Jurgen Habermas, musyawarah untuk konsensus itu disebut dengan demokrasi deliberatif.

Dalam model demokrasi deliberatif, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada fakta, bukan hanya berbasiskan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.

Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek yang bersifat kompromistis. Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak (termasuk minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif. Dalam model ini, legitimasi demokrasi tidak ditentukan seberapa banyak dukungan atas suatu keputusan, tetapi seberapa luas dan dalam melibatkan proses-proses deliberasi.

Kalau pemerintah sudah bersedia menyorongkan tangannya untuk bergandengan tangan, mengajak berembuk, dan berjanji mengakomodasi tuntutan, seyogianya gayung itu disambut. Kecuali memang ada niat merawat dendam, menyemai permusuhan, atau memuaskan gelegak petualangan politik.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima