Blunder Buzzer

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group
22/8/2020 05:00
Blunder Buzzer
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PERSIS di hari pencoblosan Pemilu Presiden, 17 April 2019, satu teman yang kini menjadi wakil menteri menyodorkan kepada saya angka elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo- Sandi. Waktu itu Tim Kampanye Nasional Jokowi-KH Ma’ruf Amin berkumpul di Djakarta Theater menyaksikan hitung cepat yang ditayangkan semua stasiun televisi.

Angka elektabilitas yang disodorkan kawan saya itu dikonversi dari media sosial. Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin memperoleh sekitar 59% suara dan Prabowo-Sandi 41%. Hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel yang terpampang di televisi menunjukkan elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf antara 54%-56% dan Prabowo-Sandi 44%-46%. Saya berpikir andai angka elektabilitas hasil konversi media sosial itu benar, serupa dengan hasil real count KPU nanti, ilmu statistik yang menjadi dasar hitung cepat mesti bubar diganti ilmu utak-atik medsos.

Real count KPU kelak menunjukkan Jokowi-KH Ma’ruf dengan perolehan suara 55,5% mengungguli Prabowo-Sandi dengan perolehan suara 44,5%, tidak berbeda jauh dengan hasil hitung cepat. Ilmu statistik batal bubar.

Saya yang waktu itu menjadi bagian tim kampanye yang mengurusi media arus utama, juga punya angka elektabilitas kedua pasangan yang dikonversi dari pemberitaan di media arus utama. Pada 14 April 2019 atau tiga hari sebelum hari pencoblosan, saya memiliki angka elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf Amin 55,3% dan Prabowo-Sandi 44,7%. Angka yang saya pegang itu tidak berbeda jauh dengan angka hasil hitung cepat. Bahkan angka saya itu ternyata mirip dengan hasil real count KPU, hanya selisih 0,2%.

Sepanjang kampanye Pilpres 2019 angka elektabilitas yang saya miliki, yang merupakan hasil konversi pemberitaan media arus utama itu, berubah-ubah sesuai dengan dinamika politik kala itu. Sebaliknya, angka elektabilitas hasil konversi ‘pemberitaan’ media sosial relatif konsisten, berkisar 59%-62%.

Pengalaman di atas kiranya menunjukkan media arus utama lebih merepresentasikan realitas jika dibandingkan dengan media sosial. Itu karena pemberitaan media arus utama memang berdasarkan fakta, sedangkan pesan melalui media sosial berdasarkan algoritma. Media arus utama menggambarkan apa yang memang terjadi, sedangkan media sosial menggambarkan apa yang diinginkan terjadi.

Terjadi mobilisasi pesan melalui media sosial untuk mencapai apa yang diinginkan terjadi itu. Dalam kasus Pilpres 2019, berlangsung mobilisasi pesan melalui media sosial oleh tim medsos untuk mencapai keinginan mendapat elektabilitas 59% bagi pasangan Jokowi-KH Ma’ruf Amin.

Ramai diberitakan mobilisasi buzzer dan influencer untuk mengampanyekan omnibus law atau RUU Cipta Kerja. Penggunaan buzzer dan influencer itu kiranya demi tercapainya satu keinginan, yakni masyarakat mendukung omnibus law. Alih-alih mendapat dukungan, penggunaan buzzer dan influencer itu dikecam. Bukannya mendapat dukungan, para influencer dan buzzer mendapat perundungan sampai beberapa di antaranya mundur teratur. Entah siapa yang memobilisasi buzzer dan influencer itu, dia melakukan blunder dan menghadirkan backfire.

Indonesia Corruption Watch mencatat pemerintah menghabiskan Rp90 miliar lebih untuk membayar buzzer dan influencer demi menyosialisasikan program-program pemerintah. Para buzzer dan influencer yang umumnya pesohor itu serupa mendapat durian runtuh. Ketika sepi job akibat pandemi covid-19, mereka mendapat job menyosialisasikan program pemerintah melalui media sosial. Alangkah baik hatinya pemerintah memberikan ‘bantuan sosial’ kepada para buzzer itu.

Kita berkomunikasi melalui media sosial umumnya untuk mencari konfirmasi. Kita hanya mencari informasi yang sesuai dengan pikiran dan pendapat kita. Informasi di media sosial yang berbeda atau bertentangan dengan pikiran dan pendapat kita biasanya kita abaikan atau tolak. Itulah sebabnya tujuan bagi terjadinya dukungan masyarakat atas RUU Cipta Kerja dengan memobilisasi buzzer tidak tercapai karena mungkin banyak orang yang sesungguhnya tak setuju dengan rancangan undang-undang tersebut bahkan menyerang balik para buzzer itu.

Komunikasi melalui media arus utama umumnya untuk mencapai diskusi yang berujung pada, dalam istilah filsuf Jerman Jurgen Habermas, kesalingmengertian. Pengelola media mendiskusikan, setidaknya melalui rapat redaksi dan pengeditan, sebelum memutuskan suatu berita dipublikasikan. Dalam pemberitaan di media arus utama ada diskusi, antara lain melalui prinsip cover both side, supaya tidak ada monopoli kebenaran oleh satu narasumber. Pun audiens mencerna atau ‘mendiskusikan’ dengan diri sendiri informasi yang disampaikan melalui media arus utama. Andai sosialisasi omnibus law dilakukan intensif melalui media arus utama, semestinya tercapai kesalingmengertian antara pemerintah dan masyarakat.

Sebaliknya, ada, masih dalam istilah Habermas, monopoli bahkan kolonisasi kebenaran dalam tindakan komunikatif yang dilakukan para buzzer melalui media sosial. Orang biasanya melawan bila dimonopoli dan dikolonisasi. Perlawanan itulah yang dialami para buzzer omnibus law. Tentu boleh saja menggunakan buzzer, tetapi jangan sampai overdosis. Sedikit-sedikit pakai buzzer. Perbanyaklah penggunaan media arus utama. Kurangilah penggunaan buzzer karena itu bisa menjadi blunder dan backfire.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima