Hidup Bersama Virus

Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group
13/5/2020 05:30
Hidup Bersama Virus
(MI/EBET)

“KITA harus hidup bersama virus,” kata Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe. PM Philippe menyampaikan hal itu di hadapan parlemen pekan lalu sehubungan dengan rencana Pemerintah Prancis memperlonggar lockdown mulai 11 Mei 2020.

Sebanyak 360 anggota parlemen setuju dan 100 lainnya menolak. Mulai Senin (11/5) rakyat Prancis menikmati pelonggaran lockdown. Namun, mereka tidak lantas ber-euforia, balas dendam dengan bebas berkegiatan di luar rumah, setelah sebulan lebih terkurung dalam lockdown. Rakyat Prancis belum seluruhnya berkegiatan di luar rumah. Yang berkegiatan di luar rumah tetap memakai masker dan menjaga jarak sosial. Inilah yang disebut hidup bersama virus.

Prancis termasuk negara paling parah terjangkit covid-19. Meski sudah terjadi penurunan, grafik covid-19 Prancis masih dikategorikan merah. Akan tetapi atas pertimbangan ‘kita harus hidup bersama virus’ itu, Prancis memutuskan memperlonggar lockdown.

Sejumlah negara Eropa, seperti Jerman dan Italia, juga sudah memperlonggar lockdown, meski grafik penyebaran covid-19 mereka masih merah. Di India, Perdana Menteri Narendra Modi, mengisyaratkan pelonggaran lockdown yang telah berlangsung tujuh pekan, meski kenaikan kasus covid-19 di sana terbilang tinggi.

Di sini, di Indonesia, Presiden Jokowi mengajak masyarakat berdamai dengan covid-19, pekan lalu. Ajakan Presiden Jokowi serupa dengan pernyataan PM Philippe. ‘Hidup bersama virus’ seperti diucapkan PM Philippe serupa dengan ‘berdamai dengan covid-19’ yang dinyatakan Presiden Jokowi.

Kita sering mendengar ajakan untuk berdamai dengan bencana. Ajakan itu terutama berlaku di wilayah-wilayah rawan bencana alam, seperti Indonesia. Kita tahu Indonesia berada di ring of fire. Bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, senantiasa mengintai kita. Kita tidak mampu melawan bencana alam itu. Bila tak sanggup melawan, pilihannya berdamai.

Berdamai bukan berarti menyerah. Berdamai tiada lain beradaptasi. Tujuannya juga tiada lain untuk mengurangi risiko yang terjadi akibat bencana. Istilah kerennya mitigasi bencana. Tinggal di rumah tahan gempa contoh hidup berdamai dengan bencana. Memperbanyak perangkat peringatan dini tsunami contoh hidup beradaptasi dengan bencana.

Pandemi covid-19 ialah bencana nonalam. Selama vaksinnya belum ditemukan, kita hidup di “ring of covid-19”. Selama vaksinnya belum ditemukan, kita tak akan sanggup melawan bencana nonalam covid-19 itu.

Yang kita lakukan selama ini dengan memakai masker, menjaga jarak sosial, mencuci tangan pakai sabun, meningkatkan daya tahan tubuh, merupakan upaya mengurangi risiko terkena covid-19. Memakai masker, menjaga jarak sosial, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga daya tahan tubuh ialah ‘hidup bersama virus’ dalam istilah PM Philippe, ‘berdamai dengan covid-19’ dalam bahasa Presiden Jokowi.

Ajakan Presiden Jokowi untuk berdamai dengan covid-19 sesungguhnya normatif, lumrah, wajar. Ia lazim diucapkan dalam berbagai kampanye kebencanaan. Pun, Presiden Jokowi bukan satu-satunya kepala negara atau kepala pemerintahan yang menyatakannya. Itu pernyataan jamak.

Pernyataan normatif, lumrah, wajar, jamak, semestinya tidak bikin gaduh. Akan tetapi, ia sengaja dibuat kontroversial, dibikin gaduh.  Pernyataan Presiden tidak bikin gaduh, tetapi dibikin gaduh. Celakanya, entah siapa yang bikin gaduh, tetapi Presiden Jokowi yang diminta setop bikin pernyataan.

Pernyataan Presiden soal ‘berdamai dengan covid-19’ dibikin gaduh, dikontroversikan, dengan pernyataan Presiden sebelumnya ihwal ‘melawan covid-19’. Menafsirkan teks mesti dengan melihat konteks.

Pernyataan Presiden Jokowi mengatakan kita mampu ‘melawan virus korona’ di awal terdeteksinya penderita covid-19. Konteksnya jelas memberi semangat bangsa ini bersama-sama menghadapi pandemi covid-19.

Presiden mengajak ‘berdamai dengan covid-19’ di tengah upaya kita mengurangi risiko pandemi covid-19 mulai menunjukkan hasil positif secara statistik, lebih baik jika dibandingkan Prancis, Jerman, Italia, bahkan India bila kita melihat statistik covid-19 di worldometers. Akan tetapi, vaksinnya belum ditemukan. Konteks pernyataan Presiden ialah mengajak masyarakat untuk tetap menjaga protokol kesehatan sebelum vaksinya ditemukan.

Kita maklum bila ada yang bikin gaduh karena cekaknya pemahaman tentang teks-konteks. Akan tetapi, kita tak habis pikir bila mereka, yang jika dilihat pendidikan dan posisinya di masyarakat, semestinya paham ihwal teks-konteks, masih juga nyinyir.

Saya sengaja mengambil judul tulisan ini dari pernyataan Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe, bukan pernyataan Presiden RI Jokowi, meski keduanya serupa. Kultur ‘rumput di halaman tetangga lebih hijau daripada rumput di halaman sendiri’ di negeri ini masih kuat. Mereka seringkali bikin gaduh karena membandingkan negara ini dengan negera lain, seolah negara lain lebih hebat daripada negara sendiri, seolah negara ini harus meniru bulat-bulat negara lain. Bila kita tak meniru bulat-bulat negara lain, misalnya tidak lockdown dalam kasus covid-19, mereka panik sendiri lalu bikin gaduh.

Inilah salah satu persoalan besar bangsa ini: tidak percaya diri.
 



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima