Pelacur versus Politikus

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group
08/2/2020 05:10
Pelacur versus Politikus
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PELACUR punya eufemisme atau pelembutan pekerja seks komersial. Eufemisme itu tanpa kita sadari menjadikan pelacur sebagai profesi. Kita mengukuhkan pelacur atau pekerja seks sebagai profesi.

Dengan begitu, pekerja seks serupa dengan, katakanlah, pekerja film atau aktor. Itulah sebabnya aktor Amerika William Holden berkata, "Semua aktor adalah pelacur. Kami menjual tubuh kami ke penawar tertinggi."

Pekerja seks juga serupa pekerja politik atau politikus. Mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengeluarkan istilah prostitusi politik dalam artikelnya di Media Indonesia 22 September 2012. Prostitusi politik, menurut Dedi, terjadi dalam praktik politik uang, politik sembako, politik mi instan, dan politik bahan bangunan.

Dalam konteks politik uang, politikus ialah pelacur dalam arah berkebalikan. Dalam prostitusi awam, orang membayar untuk 'menganu' pekerja seks. Dalam prostitusi politik, pekerja politik membayar rakyat yang mencoblosnya.

Lagi pula, pada dasarnya dalam semua pekerjaan ada kegiatan menjual. Pekerja politik atau politikus menjual janji-janji saat kampanye. Pelacur atau pekerja seks menjual tubuhnya.

Meski sama-sama pekerja dan menjual, konstruksi berpikir kita telanjur memosisikan pekerja politik sebagai bermartabat, sedangkan pekerja seks hina dina.

Presiden John F Kennedy, misalnya, menyebut politik itu mulia dan politikus itu profesi mulia. Politikus salah satu yang menganggap pelacur sampah masyarakat, pelacuran penyakit sosial. Oleh karena itu, tidak ada yang bercita-cita menjadi pelacur, tetapi yang kepengin menjadi politikus antre panjang.

Andre Rosiade ialah salah satu politikus yang menganggap pelacur penyakit sosial yang meresahkan warga Padang, Sumatra Barat. Menurut versi Andre, atas pengaduan masyarakat, dia melaporkan ke polisi praktik prostitusi daring, lalu polisi menggerebek dan menangkap seorang pekerja seks di satu hotel di Padang.

Celakanya, menurut versi sang pekerja seks, sebelum ditangkap, seseorang 'memakainya' lebih dulu. Ini jadi semacam penjebakan.

Sang pekerja seks menjalani pekerjaannya karena keterpaksaan ekonomi. Mana ada orang kepengin jadi pekerja seks kalau tidak karena terpaksa? Dia ditinggal suaminya dan harus mengurus seorang diri anaknya yang berusia satu tahun. Anaknya harus dititipkan karena dia menjalani penahanan polisi.

Lelaki yang 'memakai' dan menjebak sang pekerja seks tidak ditangkap dan ditahan. Di sinilah letak ketidakadilan. Penangkapan ini sangat diskriminatif. Secara ekonomi, pelacur dan pelacuran ada karena adanya permintaan, kebutuhan. Namun, mengapa yang ditangkap cuma pekerja seks, sedangkan pemakainya tidak?

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai pekerja seks. KUHP juga tidak memiliki pasal untuk menjerat pekerja seks. Yang ada, pasal untuk menjerat muncikari alias penyedia pekerja seks. Muncikari dalam kasus politikus ini juga ditahan polisi. Akan tetapi, muncikari dan pekerja seks lebih dijerat dengan UU ITE karena ini lebih terkait dengan prostitusi daring.

Perkara politikus versus pelacur di Padang ini lebih dari sekadar persoalan hukum. Ini lebih berurusan dengan cara pandang kita yang diskriminatif terhadap pekerja seksual. Celakanya, dalam perlakuan diskriminatif terhadap pekerja seks itu berawal dari seorang pekerja politik.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima