Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
APA yang lebih berbahaya daripada virus korona yang hingga kemarin siang menewaskan 106 orang? Virus kebencian jawabannya.
Pekan lalu saya menulis tentang Uighur di laman Facebook saya. Saya ingin menyajikan berbagai pandangan atau perspektif tentang Uighur, baik positif, netral, maupun negatif.
Saya menuliskannya berdasarkan kunjungan saya ke Xinjiang, provinsi tempat etnik muslim Uighur menetap di Tiongkok. Saya juga menuliskan sejumlah pemberitaan negatif tentang perlakuan pemerintah Tiongkok kepada etnik Uighur. Pun saya menuliskan dua hasil penelitian tentang Uighur yang saya baca dari dua buku berbahasa Inggris.
Tiba-tiba ada yang berkomentar bahwa virus korona ialah balasan dari langit untuk rezim komunis RRT atas perlakuan mereka terhadap muslim Uighur. Komentar ini jelas berperspektif langitan atau berperspektif hukum karma yang jelas tidak didasarkan pada keilmiahan, tetapi pada kebencian.
Dia yang berkomentar seperti itu telah terjangkit sekaligus menularkan virus kebencian. Celakanya virus kebencian lebih berbahaya daripada virus korona atau virus-virus lain yang pernah ada atau kelak ada di muka bumi.
Penyebaran virus kebencian memakan lebih banyak korban jika dibandingkan dengan virus korona. Itu karena bila virus korona berjangkit melalui interaksi fisikal, virus kebencian berjangkit melalui interaksi virtual di media sosial.
Virus korona menyerang tubuh, sedangkan virus kebencian menyerang kewarasan, akal sehat. Oleh karena itu, orang terjangkit virus korona bisa disembuhkan dengan vaksin yang kelak ditemukan, tetapi mereka yang terjangkit virus kebencian sulit disembuhkan sampai tujuh turunan bahkan dengan vaksin rekonsiliasi sekalipun.
Virus kebencian juga menyebar melalui komentar atau analisis asal-asalan bahwa orang Tiongkok terserang virus korona karena doyan makan sup kalelawar dan ular, dan keduanya makanan haram. Akan tetapi, saya membaca artikel di The Guardian yang dipublikasikan enam tahun lalu dan menginformasikan kemungkinan virus korona menjadi pandemi berikutnya.
Informasi The Guardian itu didasarkan temuan seorang virolog yang menyebutkan adanya seorang pasien yang terjangkit virus yang kemudian diduga korona itu di satu rumah sakit di Jeddah, Arab Saudi.
Rasanya kecil kemungkinan pasien tersebut gemar mengonsumsi sup kelelawar atau ular. Para ahli menduga virus berasal dari hewan ternak setempat.
Saya membayangkan, si komentator tadi akan mengatakan bahwa informasi kemungkinan virus korona berasal dari hewan ternak di Timur Tengah ialah konspirasi asing-aseng. Namanya juga akal sehatnya sudah terjangkit virus kebencian. Karena kebencian, si komentator serupa menyoraki wabah yang diderita warga Tiongkok.
Meski sulit, virus kebencian sesungguhnya bukan tidak bisa disembuhkan sama sekali. Sedikit empati semestinya bisa menyingkirkan virus kebencian. Bila tidak bisa berempati atas nama kebangsaan, berempatilah atas nama kemanusiaan.
Empati ialah menempatkan posisi kita pada orang lain, pada korban virus korona. Dengan berempati, kita seolah merasakan bahwa terjangkit virus korona itu menderita dan sengsara. Kita tentu tidak menginginkan terjangkit virus korona sehingga kita mau tidak mau berupaya mencegahnya. Itu artinya berempati bisa mencegah kita terserang virus korona.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved