Rating TVRI

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group
22/1/2020 05:10
Rating TVRI
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SLOGAN TVRI, Menjalin Persatuan dan Kesatuan, tak mudah lekang dari ingatan meski kini sudah berganti menjadi Media Pemersatu Bangsa.  Semangat kedua slogan itu sependeritaan-sepenanggungan. TVRI ‘menderita’ karena menanggung tugas berat, tetapi mulia untuk menjadi media yang senantiasa mempersatukan bangsa.

Dewasa ini, di tengah perseteruan yang--mudah-mudahan tidak--tak berkesudahan antara cebong dan kadrun, tugas berat itu menjadi mahaberat.
Celakanya, pada 2013, TVRI menayangkan muktamar Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi yang memperjuangkan Indonesia dalam bingkai khilafah, bukan NKRI. TVRI bahkan pernah mendapat petisi untuk menghentikan tayangan Inspirasi Iman yang dinilai menjadi corong doktrin khilafah.

HTI membayar TVRI untuk dapat ditayangkan selama 1 jam. Dalam dunia pertelevisian, ini lazim disebut blocking. Aturan meng­izinkan TVRI mencari sebagian kecil pemasukan karena negara sudah membiayai sebagian besar operasional mereka. Di negara lain, lembaga penyiaran publik haram menerima iklan. Sebagai televisi yang dibiayai negara, TVRI tak tahu diuntung bila menyiarkan kegiatan organisasi yang bercita-cita merongrong keutuhan negara.

TVRI memang tidak boleh mencari untung, tetapi dia juga pantang tak tahu diuntung. Bila mencari untung, TVRI yang merupakan lembaga penyiaran publik serupa lembaga penyiaran swasta, seperti industri.

Dalam ilmu ekonomi media, industri media menyasar dua jenis pasar, yaitu pengiklan dan penonton. HTI termasuk pengiklan. Penonton dalam jagat pertelevisian dihitung melalui instrumen yang disebut rating.

Rating, di dunia pertelevisian, serupa tuhan (dengan huruf t kecil) yang menentukan hidup-matinya industri televisi. Rating adalah jumlah penonton. Bila penonton banyak, iklan berdatangan. Penonton ikut ‘bekerja’ mendatangkan iklan bagi televisi. Dalam persektif Marxis, penonton televisi serupa buruh yang tidak digaji.

Bicara rating, Helmy Yahya, Direktur Utama TVRI yang pekan lalu diberhentikan dewan pengawasnya, memamerkan rating TVRI. Helmy membanggakan rating TVRI yang dulu selalu terjepit di nomor buncit, kini menjulang tinggi. Helmy hendak mengatakan, “Saya tak pantas diberhentikan karena di bawah saya rating TVRI kinclong.”

Saya tidak ingin memperdebatkan apakah tindakan dewan pengawas memecat Helmy tepat atau cacat. Toh, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Komisi I DPR RI sedang berupaya memediasinya. Saya hanya ingin mendiskusikan argumen rating dari perspektif TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang mengemban visi besar mempertahankan persatuan Indonesia.

Rating TVRI terdongkrak karena program-program sport dan serial drama keluarga yang menurut dewan pengawas diimpor dari luar negeri dengan harga terlalu mahal. Jangan-jangan impor program televisi yang dilakukan TVRI berkontribusi pada defisit neraca perdagangan.

Itu artinya Helmy mendongkrak rating dengan cara kebelet alias instan, dengan membeli program, dengan harga mahal pula, katanya. Mohon maaf, menurut saya, ini tidak hebat karena rating tinggi melalui cara kebelet biasanya berlangsung cuma sekelebat, sesaat, numpang lewat. TVRI hebat bila ratingnya tinggi karena program yang mereka kreasi sendiri.

Pun, rating masih menyisakan persoalan metodologis. Rating diukur melalui alat yang disebut people meter. Bila Anda mampir di saluran TVRI pada pesawat televisi Anda selama minimal 1 menit, people meter bekerja memperhitungkan Anda sebagai penonton. Jumlah seluruh orang seperti Anda yang menonton TVRI akan dikonversi sebagai rating TVRI. Bila, misalnya, Anda singgah di saluran TVRI selama, katakanlah, 30 detik, dan kemudian Anda keluar rumah meninggalkan saluran tersebut dalam keadaan menyala dan ditonton kucing di rumah Anda selama minimal 1 menit, Anda tetap dihitung sebagai penonton atau rating.

Rating menanggung persoalan metodologis karena definisi menonton yang melulu kuantitatif. Oleh karena itu, program yang ratingnya teratas belum tentu berkualitas. Sebaliknya, program berating terpuruk belum tentu buruk. Bila rating tak selamanya berbanding lurus dengan kualitas program, buat apa TVRI membangga-banggakan rating?

Bila rating tinggi, diasumsikan banyak iklan menghampiri. Stasiun televisi berupaya meninggikan rating dengan tujuan menarik pengiklan supaya keuntungan datang. Karena TVRI pantang mencari keuntungan, buat apa repot-repot meninggikan rating, apalagi dengan membeli program instan yang harganya selangit? Rating boleh jadi tuhan untuk televisi swasta, tapi tidak untuk TVRI.

Siapa pun direksi TVRI, mereka pantang melupakan visi besar TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang dibiayai negara, yakni menjaga Indonesia melalui program-program hebat. TVRI pernah punya program hebat seperti Dunia Dalam Berita.
Negara mesti menolong TVRI supaya televisi publik ini bisa bersaing dengan televisi swasta dalam menayangkan program berkualitas karya anak bangsa.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima