Tergiur Uighur

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group
28/12/2019 05:10
Tergiur Uighur
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

TERDEPAN, terluar, terbelakang. Tiga situasi dan kondisi itu menjadi modal atau argumen minimal bagi kelompok separatis untuk berjuang memisahkan diri dari satu negara.

Terdepan maksudnya wilayah yang diperjuangkan pemisahannya biasanya berada di paling depan suatu negara, berbatasan dengan negara lain.

Papua atau Aceh dahulu kala punya modal atau argumen seperti itu.

Terluar maksudnya penduduknya punya kekhasan kultural, berbeda dengan sebagian besar penghuni suatu negara, sehingga mereka merasa berada di luar, bukan menjadi bagian suatu negara-bangsa. Quebec yang berbahasa Prancis punya modal atau argumen ini sehingga di masa lalu warganya ingin memisahkan diri dari Kanada yang berbahasa Inggris.

Terbelakang maksudnya orang-orang di wilayah tersebut merasa terdiskriminasi, tidak teperhatikan, sehingga terbelakang secara sosial, ekonomi, politik, tetapi tidak terbelakang secara mental. Kelompok separatis di Papua merasakan hal seperti itu.

Etnik Uighur di Tiongkok punya semua modal atau argumen tersebut. Oleh karena itu, sekelompok warga Uighur tergiur melakukan gerakan separatisme, berjuang memisahkan diri dari Tiongkok, yang celakanya, melalui tindakan terorisme.

Posisi Uighur berbatasan dengan Pakistan, Afghanistan, dan negara-negara berakhiran 'tan' lainnya. Posisi seperti ini memudahkan ekspor-impor kekerasan karena beberapa negara berakhiran 'tan' itu dikenal sebagai produsen kekerasan. Tidak mengherankan bila kelompok separatis di Uighur menempuh jalan kekerasan demi memisahkan diri dari Tiongkok.

Etnik Uighur beragama Islam, berbeda dengan kebanyakan orang Tiongkok yang, katakanlah, komunis. Fisik orang Uighur lebih ke fisik orang Asia Tengah, berbeda dengan kebanyakan orang Tiongkok yang punya ras Mongoloid.

Terkait dengan argumen 'terbelakang', seorang teman di satu grup pertukaran pesan mengutip Dolkun Isa, tokoh Uighur di luar negeri, yang mengatakan mereka melakukan terorisme dan separatisme karena Tiongkok selama ini mendiskriminasi Uighur. Perihal terdiskriminasi atau tidak, terbelakang atau tidak, sangat relatif dan subjektif. Pastilah Dolkun Isa senantiasa mengampanyekan bahwa Uighur terdiskriminasi meski pembangunan di Xinjiang bisa dikatakan tidak ketinggalan.

Saya membalas di grup pertukaran pesan itu dengan analogi bahwa Benny Wenda, tokoh separatis Papua di luar negeri, juga senantiasa mengampanyekan bahwa Papua terbelakang karena pemerintah Indonesia mendiskriminasi. Padahal, pemerintah RI memberi status otonomi khusus kepada Papua dan menggelontorkan duit triliunan rupiah untuk Papua saban tahun.

Etnik Uighur punya modal lain untuk memisahkan diri dari Tiongkok. Alam Uighur indah. Kekayaan alamnya melimpah,  Kebudayaannya kaya, Perempuannya jelita.

Pemerintah Tiongkok tentu tergiur mempertahankan Uighur. Tiongkok tak rela kehilangan keindahan alam Uighur, keberlimpahan kekayaan alamnya, kekayaan budayanya, juga pesona perempuannya. Mana ada negara yang rela melepaskan wilayahnya sejengkal pun, kecuali mungkin Indonesia yang
tulus ikhlas mengizinkan referendum di Timor Timur pada 1999 yang berakibat kita kehilangan wilayah yang dulu provinsi ke-27 itu.

Pemerintah Tiongkok melakukan pendekatan keamanan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk menderadikalisasi etnik Uighur. Saya menyaksikan sebagian cara pemerintah Tiongkok menderadikalisasi etnik Uighur ketika berkunjung ke sana November 2019. Saya menilai cara-cara tersebut masih dalam batas-batas suatu negara yang hendak mempertahankan wilayahnya dari separatisme.

Namun, cara-cara itu justru menjadi sorotan dunia sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Presiden AS Donald Trump pun tergiur Uighur. Dia mengundang muslim Uighur ke Gedung Putih pertengahan 2019. Padahal, kita tahu di awal masa jabatannya dia melarang warga negara dari enam negara berpenduduk muslim masuk ke Amerika dengan alasan negara-negara tersebut produsen terorisme. Mungkin ada udang perang dagang dengan Tiongkok di balik batu undangan Trump kepada muslim Uighur itu.

Media internasional tergiur memberitakan Uighur. Saking antusiasnya, beritanya sampai tidak akurat. Salah satu media internasional memberitakan ormas Islam di Indonesia disuap pemerintah Tiongkok supaya mingkem soal Uighur. Ormas Islam itu membantahnya.

Orang Indonesia, kelihatannya atas nama agama, juga tergiur membicarakan Uighur di media sosial. Padahal, persoalan Uighur sebatas masalah separatisme dan terorisme. Akan tetapi, karena kebetulan warga Uighur beragama Islam, persoalan Uighur dikait-kaitkan bahkan dibungkus agama.

Dibentuk opini seolah etnik Uighur ditekan karena mereka muslim, padahal karena mereka separatis. Suku Hui yang juga muslim, tetapi tidak separatis, mendapat perlakuan wajar dari Tiongkok.

Selain karena dibungkus agama, Uighur seksi diperbincangkan karena terkait dengan Tiongkok. Sejak Pemilu 2014, segala yang terkait atau dikait-kaitkan dengan Tiongkok sangat seksi diperbincangkan, mulai isu capres Jokowi yang keturunan Tiongkok hingga serbuan tenaga kerja asing asal Tiongkok, kecuali telepon pintar buatan Tiongkok.

Begitu tergiurnya kita membela Uighur atas nama agama sampai ada yang mengunggah foto yang katanya perempuan Uighur yang disiksa. Padahal, foto itu hoaks. Kita jadi teringat mantan Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring yang mengunggah foto hoaks penyiksaan etnik Rohingya di Myanmar pada 2017 dan kemudian meminta maaf.

Untungnya pemerintah Indonesia tidak terlalu tergiur membicarakan Uighur. Bukan apa-apa, perkara Uighur tidak gampang. Kita jangan
menggampang-gampangkannya, yang mengakibatkan pemerintah Indonesia gampang pula dituduh macam-macam.

Tidak gampang karena persoalan Uighur berada di antara dua kutub, yakni integritas sebuah negara-bangsa dan perjuangan kemerdekaan melalui separatisme. Bila salah bersikap, Indonesia gampang dituduh mendukung separatisme, bukan mendukung integritas suatu negara. Bila pemerintah ingin bersikap, bersikaplah dalam kerangka hak asasi manusia melalui soft diplomacy.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima