Belajar dari Korea

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
26/11/2019 05:10
Belajar dari Korea
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

BUKAN baru pertama kali Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Korea Selatan. Kali ini Presiden datang ke Busan untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Korsel-ASEAN. Kunjungan kali ini tidak hanya akan memfinalisasi perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Korsel, tetapi juga mempelajari persoalan sosial dan pendidikan.

Korsel sekarang sudah menjadi negara maju. Mereka memiliki riset yang kuat sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan berkelas dunia. Namun, semua itu tidak terjadi secara seketika, tetapi merupakan proses yang panjang.

Persis seperti Indonesia, Korsel baru menjadi negara merdeka pada 1945. Mereka pun tidak serta-merta bisa membangun negara saat pertama merdeka. Perang Korea yang berkobar pada 1950 membuat energi mereka tersita habis untuk menghadapi saudaranya dari Utara. Bahkan perang itu tidak hanya berlangsung sampai 1953, tetapi sampai sekarang ketegangan itu masih terus berlangsung.

Apa yang disaksikan Presiden di Gamcheon merupakan bagian dari masa lalu Korsel. Perang membuat banyak warga hidup menderita. Mereka hidup dalam kemiskinan di wilayah perbukitan di Distrik Saha, Busan. Tempat tinggal mereka bukan hanya berdesak-desakan, tetapi juga kumuh.

Waktu 60 tahun tidak mampu membuat mereka keluar dari lingkungan yang serbaterbatas. Namun dengan kemajuan yang bisa diraih, kekumuhan bisa mereka ubah menjadi kelayakan. Sebagian warga Korsel tetap harus tinggal di sana, tetapi lingkungan dibuat bersih dan nyaman. Semua kebutuhan dasar disediakan pemerintah, sehingga cerita kekumuhan bisa diubah menjadi tempat kunjungan wisata yang memiliki nilai sejarah.

Melihat Korsel sekarang jangan hanya dilihat dari kemajuan pembangunannya, tetapi yang jauh lebih penting mempelajari kerja kerasnya. Selama 30 tahun mereka dipimpin rezim militer. Namun, Presiden Park Chung-hee merupakan pemimpin yang mampu mengajarkan bangsanya tentang arti disiplin, etos kerja, dan sikap untuk memberikan yang terbaik kepada negara.

Ahli politik Universitas Harvard Samuel Phillips Huntington menuliskan fenomena Korsel itu dalam buku Culture Matters. Korsel merupakan model negara yang mampu menanamkan disiplin dan etos kerja untuk menjadi produksi. Bahkan produk itu mampu mereka reproduksi dengan nilai tambah tinggi.

Jauh sebelum gerakan demokrasi melanda Asia, Korsel lebih dahulu digoncang gelombang demonstrasi. Mahasiswa-mahasiswa Korsel turun ke jalan untuk menjatuhkan pemerintahan otoriter. Tidak terhitung korban jiwa yang jatuh, tetapi pada 1988 demokrasi bisa ditegakkan di Korsel.

Setelah demokrasi didapatkan, nyaris tidak ada lagi politik jalanan di Korsel. Semua kembali kepada bidang dan tugas masing-masing. Mahasiswa kembali ke kampus untuk belajar, ilmuwan sibuk di laboratorium untuk melakukan riset, pengusaha kembali melakukan bisnis dan investasi, sedangkan pemerintah membuat kebijakan yang mendorong kemajuan negara.

Itulah esensi sebenarnya dari demokrasi. Sistem demokrasi harus menghasilkan, harus bekerja untuk memberikan kesejahteraan rakyat. Jangan demokrasi dimaknai sebagai kebebasan saja. Demokrasi kata-kata hanya menimbulkan kebisingan tanpa memberi manfaat nyata kepada kehidupan rakyat.

Kita ulangi lagi pidato Presiden Jokowi pada saat pelantikan Oktober lalu. Kita harus menjadi negara maju yang salah satu ukurannya ialah produk domestik bruto kita mencapai US$7 triliun pada 2045. Dengan PDB kita sekarang sebesar US$1 triliun, berarti kita harus tumbuh dengan rata-rata 8% selama 25 tahun ke depan.

Penguasaan teknologi menjadi sesuatu yang wajib kita penuhi. Tanpa itu, kita tidak akan pernah mampu menyediakan barang modal untuk pembangunan industri. Pengalaman Orde Baru lalu, ketidakmampuan menyediakan barang modal akan menyebabkan membengkaknya neraca defisit neraca transaksi berjalan ketika kita hendak mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi.

Perbaikan sistem pendidikan merupakan prasyarat bagi penguasaan teknologi. Kalau kita mau belajar dari Korsel, itulah yang lebih penting kita dalami. Bahkan tidak perlu lagi bereksperimen, kita bisa tiru pendidikan yang diterapkan di Korsel, Finlandia, Jepang, atau Singapura untuk mempercepat perbaikan kualitas manusia Indonesia.

Waktu 25 tahun yang kita miliki tidaklah lama. Kita harus segera bergegas untuk mempercepat pembangunan manusia Indonesia. Kita pun harus berani menyisihkan biaya riset kalau ingin menjadi bangsa unggul.

Kita tidak boleh gagal untuk menyiapkan manusia-manusia unggul itu karena dalam 15 tahun ke depan bonus demografi juga akan berakhir. Kita tidak akan bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap kalau tidak mampu memanfaatkan bonus demografi sekarang ini.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima