Sudah/Pernah Menikah

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group
21/11/2019 05:10
Sudah/Pernah Menikah
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PERNIKAHAN dini paling heboh tahun ini terjadi di Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Heboh dibahas di media sosial pernikahan bocah yang berlangsung pada 11 Juli 2019 itu. Mempelai pria berinisial RG ialah siswa kelas II SMP dan pe­ngantin perempuannya berinisial ML duduk di kelas VI SD.

Saban bocah menikah selalu memantik perdebatan soal tanggung jawab. Pasangan bocah tersebut dinilai tidak tahu bagaimana memikul tanggung jawab. Karena itulah, orang yang menikah di bawah batas usia yang ditentukan undang-undang dianggap belum bertanggung jawab sehingga dimintakan dispensasi.

Meski belum tahu arti tanggung jawab, negara malah memuliakan bocah yang menikah dini. Dua bocah yang sudah menikah itu otomatis diberikan hak pilih jika di daerah mereka digelar pemilihan kepala daerah pada 2020. Pemilih ialah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah menikah yang terdaftar dalam pemilihan.

Mengapa sudah/pernah menikah diberi hak istimewa dalam politik? Apakah RG dan ML tiba-tiba saja menjadi orang yang bertanggung jawab setelah menikah jika dibandingkan dengan teman mereka yang belum menikah? Jangan-jangan hak politik istimewa itu salah satu daya tarik hingga pernikahan dini kian fenomenal.

Begitu banyak praktik pernikahan anak dilakukan di negeri ini. Di sejumlah perdesaan ditemukan pernikahan dilakukan segera setelah anak mendapat haid pertama, sebagaimana penelitian Unicef di Indonesia pada 2002 menemukan angka 11% kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun.

Pemberian hak politik istimewa kepada mereka yang sudah/pernah menikah sesungguhnya sebuah bentuk nyata diskriminatif terhadap anak-anak di bawah 17 tahun, tapi belum menikah. Diskriminasi itu juga tidak mendukung tujuan undang-undang menaikkan usia nikah.

Usia dewasa untuk menikah ialah 19 tahun menurut UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usia dewasa pada undang-undang lama ialah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan.

Perbedaan usia pernikahan pria dan perempuan kemudian dianulir Mahkamah Konstitusi pada 2017. Dalam pertimbangan MK disebutkan pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, tetapi juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Semestinya, jika MK konsisten menolak diskriminasi, frasa ‘sudah/pernah menikah’ dianulir dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pasal 1 Angka 6 dalam UU 8/2015 khususnya yang memuat frasa ‘atau sudah/pernah menikah’ mempertahankan diskriminasi terhadap anak karena status perkawinan serta membuat ketidaksamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan.

Untuk memberikan kepastian hukum dan menghapus diskrimi­nasi terhadap anak, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengajukan pengujian terhadap UU No 8/2015 ke MK pada Selasa (12/11).

Penggunggat menilai frasa ‘sudah/pernah menikah’ itu bertentangan dengan prinsip pemilu dan pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keadilan tidak mungkin tercapai kalau ada privilege. Seolah-olah yang akan didapat anak kalau dia menikah ialah privilege untuk memilih.

Hampir semua negara di muka Bumi hanya menetapkan syarat umur tanpa disertai sudah/pernah menikah untuk pemilih. Akan tetapi, usia minimal untuk pemilih berbeda-beda. Sebanyak 206 negara menetapkan usia 18 tahun. Sebanyak tiga negara menetapkan usia 17 tahun, termasuk Indonesia yang menambah frasa ‘sudah/pernah menikah’.

Ketentuan sudah/pernah menikah sebagai syarat pemilih di Indonesia pertama kali diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR. Sejak saat itu, frasa ‘sudah/pernah menikah’ dicantumkan di setiap undang-undang pemilu dari pemilu legislatif, pilpres, sampai pilkada.

Frasa ‘sudah/pernah menikah’ itu mengingkari keutamaan pemil­u, yaitu tanggung jawab. Pemilu, kata ahli filsafat hukum Reinholf Zippelius, harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang memimpin negara, arah kebijakan apa yang mereka ambil, serta dalam demokrasi pendapat umum memainkan peran penting.

Perdebatan frasa ‘sudah/pernah menikah’ sempat terjadi saat pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Akan tetapi, dari 10 fraksi di DPR saat itu, hanya Fraksi NasDem yang menolak ketentuan ‘sudah/pernah menikah’. Saatnya MK menganulir diskriminasi hak pilih atas frasa ‘sudah/pernah menikah’.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima