Bukan Buku Nikah

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group
31/10/2019 05:10
Bukan Buku Nikah
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

LAKI-laki dan perempuan, kata Bung Karno, bagaikan dua sayap seekor burung. Jika kedua sayap itu sama kuat, terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya.

Perumpamaan dua sayap burung itu mengandung makna perlunya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan itulah yang diperjuangkan sejak 91 tahun silam dalam Kongres Perempuan Indonesia. Agenda kongres pertama pada 22 Desember 1928 ialah mendesakkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Kongres juga menuntut penghapusan perkawinan anak.

Bukan kesetaraan atau penghapusan perkawinan anak yang didapat perempuan. Negara justru melegalkan diskriminasi dan perkawinan anak 46 tahun setelah kongres pertama di Yogyakarta itu melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Itulah pasal yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan.

Dinilai diskriminatif karena batasan usia minimal perkawinan 16 tahun untuk perempuan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menetapkan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Disadari atau tidak, 45 tahun lamanya diskriminasi terhadap perempuan dibiarkan negara. Pembiaran sudah berakhir, perempuan bolehlah menarik napas lega pada saat Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan pada 14 Oktober 2019.

Tidaklah berlebihan kalau 14 Oktober menjadi tonggak sejarah penghapusan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Perjuangan perempuan untuk menghapus perkawinan dini baru berhasil 91 tahun kemudian. Kini, batas usia minimal perkawinan tidak lagi ada perbedaan. Semuanya sama 19 tahun.

Harus jujur diakui bahwa penghapusan diskriminasi dalam perkawinan bukanlah pemberian negara, apalagi atas kesadaran kaum pria. Tapi, pengapusan diskriminasi ialah hasil perjuangan tak kenal lelah para perempuan itu sendiri.

Para aktivis perempuan setidaknya dua kali menguji konstitusionalitas frasa 'umur 16 tahun' dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, MK malah menilai konstitusional frasa 'umur 16 tahun'. Putusan itu memang tidak bulat, karena Maria Farida Indrati tercatat sebagai satu-satunya hakim yang mengajukan pendapat yang berbeda.

Selang tiga tahun kemudian, frasa yang sama justru secara bulat dinilai MK sebagai inkonstitusional dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017. Perubahan sikap hakim MK patut diapresiasi sekaligus mengonfirmasi adagium keadilan akan menemukan jalannya sendiri.

Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 memberikan jangka waktu tiga tahun kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan norma baru. Sebelum lewat batas waktu tiga tahun itu, DPR dan pemerintah sudah mengesahkan revisi UU Perkawinan dalam rapat paripurna dewan pada 16 September. "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun," bunyi Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019 itu.

Harus konsisten menegakkan aturan perkawinan pria dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun. Jangan biarkan satu dari sembilan perempuan menikah pada usia anak-anak seperti data Unicef. Angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, data BPS menyebut satu dari empat anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015.

Elok nian bila Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmavati segera menyusun program untuk memberikan pengetahuan memadai kepada orangtua dan remaja mengenai kerugian menikah pada usia dini.

Pernikahan dini ialah bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak-anak perempuan. Praktik itu tidak saja membatasi akses pendidikan, tapi juga memengaruhi kemampuan anak perempuan di masa depan. Berilah anak perempuan ijazah, bukan buku nikah.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima