Kultur Imigran untuk PLN

Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group
08/8/2019 05:30
Kultur Imigran untuk PLN
Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group(MI)

SETUJUKAH Anda kita impor direktur utama PLN? Saya setuju. Kenapa? Kayaknya kita tidak mampu membenahi PLN. 

Apakah jawaban publik bila hal itu ditanyakan kepada 4.015 responden? Spekulatif besar kemungkinan jawaban mereka tajam pro dan kontra. Tidak ada suara bulat.

Berbeda kiranya bila pokok pikiran serupa, impor CEO asing, ditanyakan kepada warga Singapura. Kebanyakan mereka bakal setuju. Apa buktinya?

Survei yang dilakukan Institute of Policy Study (IPS) menunjukkan hampir 9 dari 10 warga negara Singapura dan permanent residents (87%) setuju bahwa banyak yang dapat dipelajari dari kultur imigran. 

Sebanyak 90% mengatakan hal yang baik hidup bertetangga dengan orang yang berasal dari negara berbeda. Sebanyak 72% suka berinteraksi dengan imigran baru.

Survei IPS itu dilakukan selama lima bulan (Agustus 2018-Januari 2019), melibatkan 4.015 responden. Hasilnya diumumkan akhir bulan lalu dan dipublikasikan koran The Sunday Times awal bulan ini (4/8).

Singapura penganut kebijakan pintu terbuka bagi imigran. Kebijakan itu diterapkan sejak 15 tahun lalu. Singapura bahkan secara khusus mengundang orang-orang berbakat kelas dunia untuk bekerja dan hidup di Singapura.

Contoh yang sedang hangat di Tanah Air ialah impor rektor asing. Singapura mengimpor ilmuwan kelas dunia menjadi rektor. Hal itu misalnya dilakukan Nanyang Technological University. Kini NTU peringkat 12 dunia.

Pandangan bahwa banyak yang dapat dipelajari dari kultur imigran; hal yang baik hidup bertetangga dengan orang berasal dari negara lain;  serta suka berinteraksi dengan imigran baru; menunjukkan pikiran dan hati orang Singapura terbuka kepada kemajuan. Dalam perspektif itu tidak mengherankan bila dalam berbagai cabang kehidupan dan dinilai dengan berbagai ukuran Singapura terus berada di kelas atas dunia.

Sebaliknya, kita menyempitkan hati dan pikiran kita sendiri seperti katak masuk dalam tempurung. Maaf jika terlalu keras. Katak dalam tempurung itu antara lain diekspresikan dalam frasa 'putra daerah'.

Bahasa yang dipakai macam-macam, sesuai lokalitas, seperti pilihlah 'wong dewek'. Pikiran sempit macam ini tidak hanya terjadi dalam pilkada, melainkan juga dalam memilih anggota DPR yang sesungguhnya memilih legislator nasional.

'Belajar dari kultur imigran', kiranya juga merupakan misi yang tersirat ketika kita gencar melakukan transmigrasi di masa Pak Harto. Tapi, sekarang, di masa demokrasi ini, menyedihkan bahwa ada anak bangsa sendiri yang telah bermukim puluhan tahun di suatu lokasi sebagai transmigran diusir penduduk yang menyebut dirinya 'penduduk asli'. Penduduk asli itu seakan bukan anak bangsa Indonesia.

Sejujurnya terjadi paradoks serius dalam kita berdemokrasi. Kebebasan menggunakan hak pilih dan kebebasan mencalonkan diri dalam pemilu/pilkada dihadapkan dengan kekerdilan berbangsa dan bernegara yang diciutkan pikiran dan aspirasi indigenous.

Membandingkan ekspresi penduduk asli atau putra daerah itu dengan ekspresi orang Singapura terhadap imigran, sebagaimana ditunjukkan hasil survei IPS, rasanya bikin kita tahu diri betapa cetek pandangan kita baik 'ke dalam', maupun 'ke luar'.

Kiranya kita perlu mengubah pandangan cetek itu. Banyak yang dapat dipelajari dari kultur imigran. Kita perlu mengimpor imigran secara selektif dan terencana demi kemajuan bangsa. Bukan hanya impor rektor universitas, melainkan juga impor direktur utama PLN agar listrik dapat menyala selama-lamanya.
 



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima