Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
INI perihal demokrasi kita hari ini. Baik yang bersekutu dalam satu perahu maupun yang berseteru di seberang perahu, keduanya tak punya rasa malu. Keduanya punya persoalan serius dalam soal kepantasan bertakhta; dalam perihal beretika.
Yang bersekutu, berkoalisi dengan partai berkuasa, secara terbuka berebut kursi menteri. Tak malu menyebut jumlah yang seharusnya menurut mereka. Bahkan, sebuah partai minta jatah menteri dibedakan dengan ormas. Meskipun kita tahu, partai dan ormas itu berkelindan atawa berjalinan dalam soal relasi. Amat dekat. Seperti gula dan niranya.
Benar dalam politik tak ada makan siang gratis, there is no free lunch. Namun, mereka yang ugal-ugalan berebut kursi menteri, sama artinya mem-faith accompli sang empunya hak prerogratif itu. Presiden dibuat tak enak hati dengan sodoran-sodoran serupa itu.
Bukankah omongan mereka hendak memperkuat sistem presidensial supaya roda pemerintahan efektif? Efetivitas pemerintahan tak cuma banyaknya dukungan di parlemen, tapi juga karena para menterinya cakap dan punya dedikasi. Mestinya, biarlah presiden memilih yang terbaik.
Relawan juga punya tabiat yang tak jauh. Agaknya banyak di antara mereka sudah memantas-mantas diri di mana akan 'berkursi'. Komisaris BUMN atau yang lain? Jika tak diberi kursi, bisa jadi mereka ngamuk. Mereka mendatangi Istana, mencak-mencak, seraya pamer jasa. Seperti pernah terjadi pasca-Pemilu 2014. Relawan yang ikhlas berbuat tanpa pamrih, tapi berebut kursi tanpa risi.
Sementara itu, para seteru (yang kalah pemilu), melanjutkan perang dengan terus mendeligimitasi yang menang. Sebagian cerdik pandai yang terus memaki Mahkamah Konstitusi (MK), ialah para perapuh demokrasi juga. Mereka tak mafhum aturan main, bahwa putusan MK harus jadi akhir diskusi diganti jadi implementasi. Final dan mengikat. Begitulah amanat tersurat dalam konstitusi.
Termasuk perapuh ialah barisan sakit hati yang semula satu perahu. Mereka sebelumnya para anggota kabinet Jokowi. Setelah di-reshuffle, cepat berubah tempat jadi 'oposisi'. Mereka di seberang dan menantang. Mereka tak peduli jejak digital: apa yang mereka katakan dahulu dan kini.
Mereka sebelumnya fasih bicara hak prerogratif presiden. Namun, ketika kursi menteri diambill pemiliknya, mereka ngamuk sejadi-jadinya. Ujung-ujungnya kursi. Takhta. Bukan keikhlasan membangun negeri. Demi bangsa dan NKRI? Hanya slogan hampa makna!
Itulah paras demokrasi kita hari ini. Itulah tabiat elite dalam mirat, dalam cermin demokrasi kita. Kelasnya masih sebatas berebut takhta. Kegaduhan hingga keterbelahan kita yang menguras energi tak lepas soal perebutan kursi itu. Negeri ini memang senyatanya surplus politisi, tapi defisit negarawan.
Presiden terpilih Jokowi sudah memaklumatkan apa yang akan ia lakukan periode kedua atau lima tahun mendatang. 'Tanpa beban' akan ia melakukan hal terbaik bagi negara. Artinya, ia tak akan banyak kompromi (politik) jika yang ia yakini memang terbaik. Ini butuh bukti. Jangan terulang seperti pada 2014, ia berjanji bikin kabinet ramping, nyatanya gemuk serupa kerbau bunting.
Di periode kedua, Jokowi justru 'harus penuh beban' membuat demokrasi makin berkualitas. Ia bertanggung jawab lahirnya banyak negarawan. Ia tak boleh tersandera 'hutang budi' politik. Sebaliknya, mengikhlaskan Jokowi memilih sosok terbaik duduk di kabinet untuk memajukan Indonesia, ialah juga kontribusi terbaik partai politik bagi negara.
Tantangan serius demokrasi kita ialah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang masih 'lampu merah'. Ini butir Pancasila yang terus 'dianaktirikan' dibandingkan sila-sila yang lain. Karena itu, Jokowi harus menjauhkan diri dari praktik demokrasi sebatas bagi-bagi kursi. Orientasinya haruslah demokrasi untuk kemakmuran dan keadilan bangsa.
Alangkah cangkat (dangkal) memaknai dukungan berarti bebas berebut takhta. Berebut kursi. Para pemilik takhta kian sejahtera, sedangkan rakyat (para pemilih itu) semakin dalam didera derita.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved