Tegak di Kaki Konstitusi

Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group
27/6/2019 05:30
Tegak di Kaki Konstitusi
Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group(MI)

KEPADA siapakah kita sebagai bangsa memercayai masa depan? Saya pikir inilah pertanyaan besar yang memerlukan pikiran besar dan jiwa besar untuk menjawabnya.

Masa depan itu kiranya tidak dapat dipercayakan kepada anak cucu yang belum lahir. Juga tidak dapat dipercayakan kepada orang yang sebentar lagi pergi meninggalkan dunia ini. Bahkan mungkin tidak dapat dipercayakan kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Kenapa?

Yang diperlukan kiranya bukan 'siapa', melainkan 'apa' dan 'bagaimana', sehingga 'siapa' pun itu anak bangsa di masa depan patuh kepada 'apa' yang ditegakkan pendiri bangsa. Bagaimana memperkukuh landasan yang memberikan harapan bahwa dalam pergeseran zaman baru di dalam peradaban di masa depan itu 'pandangan hidup Indonesia' tetap tegak sebagaimana dicitakan pendiri bangsa?

Pilpres 2019, yang tidak terhindar dari pengaruh pilkada Jakarta yang mengusung Ahok, seperti nyaris menghabisi 'pluralisme Indonesia'. Sesungguhnya dan senyatanya kita rawan perpecahan etnik dan agama. Kiranya kita perlu penguatan kembali sebagai bangsa.

Untuk itu diperlukan sikap kritis terhadap demokrasi yang destruktif. Nilai-nilai yang menonjol sekarang ini tidak hanya materialisme, tetapi juga vetoisme. Tumbuh di tengah kita sebagai anak bangsa untuk memveto apa pun buah perbedaan, bahkan buah kekuasaan negara. Buah yang manis pun diveto sebagai buah yang asam, bahkan pahit.

Vetoisme itu melahirkan ketegangan berbagai kekuatan yang mestinya saling mendukung, berubah menjadi saling bertentangan. Hasil pilpres di tangan KPU hendak diveto, juga yang di tangan Mahkamah Konstitusi. Demokrasi konstitusionalisme dihadapkan dengan people power, legitimasi dihadapkan dengan legalitas, suara rakyat dihadapkan dengan suara Tuhan.

Tentu orang perlu melek bahwa konflik kebenaran dan politik bukan perkara baru di kolong langit. Itu cerita tua, sangat tua. Karena itu, menyederhanakannya tidak ada maslahatnya.

Kebenaran tidak bicara untuk dirinya, kebenaran pun tidak bicara dengan sendirinya. Sementara itu, politik bicara untuk dirinya, bahkan bicara dengan berisik kepada diri yang lain.

Sebaliknya, kebenaran harus disuarakan. Demikian pula keadilan yang merupakan saudara kandung kebenaran. Keduanya kiranya lahir dari rahim yang sama dalam cahaya yang mahasunyi dan mahasuci.

Saya pikir itulah alasan utama hakim memberi putusan dengan membawa serta Sang Maha Pencipta. Contohnya, setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat kepala putusan yang berbunyi 'Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa', yang semuanya ditulis dalam huruf besar.

Yang dipakai 'Ketuhanan Yang Maha Esa' bukan 'Ketuhanan Yang Mahasuci'.  Kenapa? Izinkan saya sok pintar menjawabnya; karena tidak ada Illah lain selain Yang Mahasuci. Ketuhanan yang mahadua, mahatiga, mahasejuta, sejuta pulalah ketidaksuciannya, ketidakbenarannya, ketidakadilannya.

Bahasa klasiknya demi keadilan sekalipun langit runtuh. 'Langit runtuh' ialah metafora, terlalu abstrak untuk terjadi. Kata Immanuel Kant, lebih baik semua orang binasa daripada ketidakadilan tegak. Konon Kant juga bicara lebih tajam, demi keselamatan dunia ini biarlah para bajingan binasa.

Tidak boleh kebenaran dan keadilan binasa di MK. Tidak boleh, karena di MK landasan yang memperkuat harapan di masa depan sedang diuji dan dipercayakan.

Kita tidak ingin Bumi Pertiwi runtuh di kaki vetoisme. Kita ingin bangsa dan negara kuat tegak di kaki konstitusi.

 



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima