Paradoks yang Absurd

Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group
03/6/2019 05:10
Paradoks yang Absurd
Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group(MI)

ADA tiga urusan besar bangsa dan negara ini. Pertama, negara kompeten. Kedua, penegakan hukum kuat. Ketiga, warga kompeten.

Tanpa ketiga kualitas itu, demokrasi kita rawan diambrukkan dengan cara-cara inkonstitusional. Ditangkapnya tersangka makar pasca-Pilpres 2019 menunjukkan hal itu.

Kiranya benar penilaian bahwa demokrasi kita dalam stagnasi. Bila meletus huru-hara yang tidak terkendali, demokrasi berumur 20 tahun dapat habis seketika.

Untunglah kita punya negara kompeten. Negara kompeten itu terekspresikan melalui kerja KPU dan Bawaslu. Sekarang giliran MK menunjukkan bahwa negara kompeten menangani sengketa pemilu.

Sudah tentu negara kompeten terekspresikan dengan efektif melalui kerja Polri yang dibantu TNI sehingga keamanan dan ketertiban terjaga dan terkendali.

Negara kompeten bakal tergerogoti apabila tidak disertai dengan kuatnya penegakan hukum. Hukum kuat menghadapi siapa pun, apakah elite sipil yang menganggap dirinya tokoh berpengaruh ataupun jenderal purnawirawan yang dirinya berjasa bagi bangsa dan negara.

Orang-orang tersangka makar, sipil ataupun purnawirawan militer, cepatlah dibawa ke pengadilan. Selebihnya biarlah kekuasaan majelis hakim yang bebas dan merdeka memutus apakah mereka bersalah atau tidak. Apa pun keputusan hakim pengadilan, seperti juga apa pun keputusan hakim MK, kita sama-sama menghormatinya.

Demokrasi tentu juga tidak dapat tegak selamanya tanpa warga kompeten. Semakin baik kompetensi warga, semakin baik bagi demokrasi langsung ataupun perwakilan. Apa tanda-tandanya?

Warga kompeten ialah warga peduli seberapa baik institusi politik bekerja. Mereka ingin membuat institusi itu sebaik mungkin.

Tanda yang lain mereka tahu bagaimana melibatkan diri dalam perbincangan publik dengan sesama warga, sesama anak bangsa. Bahkan, membawanya ke ruang privat. Singkatnya, demokrasi dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari.

Keributan setelah Pilpres 2019 menunjukkan kompetensi warga belum mencerminkan predikat yang kita sandang sebagai negara demokratis terbesar berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sejujurnya kompetensi warga masih buruk, bahkan diperburuk oleh elite yang sebetulnya paham benar apa itu 'keadaban politik', tetapi malah hendak merusaknya karena kalah dalam pilpres.

Hemat saya, diperlukan kerendahan hati sesama anak bangsa untuk mengakui bahwa untuk mempertahankan demokrasi langsung dalam pilpres di masa depan yang tidak terlalu jauh (2024), kita perlu bersama-sama meningkatkan kompetensi warga. Rasanya ini pekerjaan rumah amat berat. Untuk apa? Agar di satu pihak warga berlapang dada menerima kekalahan, di lain pihak warga berkemampuan memisahkan mana elite yang mengeruhkan, mana elite yang mencerahkan.

Kita menghadapi paradoks yang absurd, yaitu bagaimana menjadikan warga kompeten menyiangi elite, bahkan warga pula yang menyadarkan elite di ruang publik. Bukan sebaliknya. Dalam duka, kiranya bersinar harapan, kemarin mereka yang pernah bertarung berkumpul dan bertemu mengantarkan Ibu Ani Yudhoyono ke peristirahatannya yang terakhir. Bukankah publik dapat membayangkan betapa indahnya pertemuan elite itu seandainya ada Prabowo di situ?



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima