Menanti 22 Mei

Djadjat Sudradjat Dewan Redaksi Media Group
17/5/2019 05:30
Menanti 22 Mei
Djadjat Sudradjat Dewan Redaksi Media Group(MI)

SAYA tak tahu apakah kita beruntung atau buntung hidup di zaman ini. Zaman ketika demokrasi dimaknai boleh memaki-maki dan menyebar kabar dusta. Zaman ketika siapa saja dengan ringan bisa mengancam membunuh kepala negara, boleh demonstrasi kapan saja untuk urusan apa saja. Zaman ketika rakyat lelah memikirkan politisinya tak kunjung menjadi negarawan.

Saya hanya membayangkan di suatu masa nanti, warga Republik ini akan mengenang pernah ada calon presiden dan pendukungnya sejak awal membangun narasi kecurangan. Kecurangan yang dialamatkan kepada lembaga penyelengara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hoaks tujuh kontainer (setara 70 juta) surat suara tercoblos untuk Jokowi-Ma'ruf Amin dari Tiongkok ialah salah satu contohnya.

Saya tak tahu apakah politik yang miskin etika, yang hanya siap menang tapi ketika kalah meradang, kelak akan menjadi inspirasi atau justru evaluasi. Sekadar mengingatkan, kita mulai dengan Mei, bulan sarat makna. Bulan yang menyudahi sebuah kuasa dan penentuan takhta baru. Ini Mei dua dasawarsa yang lalu. Mei hari ini masih berkait dengan urusan kekuasaan yang diperebutkan itu, yakni pemilu dengan suasana yang mengharu biru.

Penguasa Orde Baru,, Soeharto, menyatakan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Tanggal itu pula BJ Habibie, sang wakil, disumpah menjadi presiden ke-3 Indonesia. Inilah suksesi nasional yang merupakan jawaban atas tuntutan mundur yang disuarakan mahasiswa kepada sang diktator dan kerusuhan Ibu Kota yang memakan banyak korban jiwa.

Sejak itu kita memilih demokrasi sebagai cara mengelola negara. Calon anggota legislatif dipilih dengan sistem pemilihan terbuka. Presiden, gubernur, dan bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Masa jabatan pun dibatasi dua periode. Bukan seperti Soekarno dan Soeharto, selama mereka mau.

Bulan ini, 22 Mei, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil Pemilu 2019. Ini menjadi waktu yang amat ditunggu. Bukan saja karena itu suara resmi institusi resmi penyelenggara pemilu, melainkan karena kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tak akan mengakuinya. Karena dugaan kecurangan itu, menurut mereka, terlalu nyata.

Namun, mereka tak hendak mengadukan dugaan itu ke Mahkamah Konstitusi nanti. Sebab, menurut kubu Prabowo, baik KPU, Bawaslu, maupun Mahkamah Konstitusi tak bisa dipercaya. Bagaimana mungkin di sebuah negara hukum mengklaim pihak lain curang tanpa bukti dan kebenaran hukum?

Anehnya lagi, Prabowo sudah beberapa kali mendeklarasikan kemenangan. Menuduh lawan curang, tapi pihaknyalah yang mengaku menang, agaknya tak jamak. Bagaimana mungkin membuktikan tuduhan serius, untuk urusan begitu besar, tanpa melalui proses hukum? Mereka akan berjuang hingga titik darah penghabisan.

Ada elite Partai Gerindra yang meminta rakyat yang memilih Prabowo-Sandi tak usah bayar pajak. Ini jelas pernyataan berbahaya. Memprovokasi rakyat agar ingkar atas kewajibannya sebagai warga negara. Jika konsisten, mestinya Prabowo juga menolak hasil pemilu legislatif.

Pemilu, karena elite berkepala batu, membuat rakyat terbelah. Berbagai pihak telah pula mengimbau agar keputusan KPU pada 22 Mei dihormati. Yang kalah diharapkan menerima dengan kepala tegak, dengan kesatria. Rakyat yang terbelah harus disatukan lagi.

Berkumpulnya para pemimpin muda di Balai Kirti, Bogor, Jawa Barat, bisa menjadi oasis. Mereka datang dari latar belakang partai yang berbeda, partai pendukung pemerintah dan oposisi, tapi mereka bersatu demi bangsa. Mereka ialah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Wali Kota Tanggerang Selatan Airin Rachmi Diany, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto selaku tuan rumah.

Mereka ingin memastikan pengumuman resmi KPU tak menimbulkan gejolak alias damai. Mereka juga ingin para politikus bertransformasi menjadi negarawan. Menurut Bima, politisi hanya berhenti pada pemilu, next election. Tapi negarawan next generation. Mereka ingin menebar harapan dan membangun karakter anak muda.

Pengumuman KPU pada 22 Mei mestinya menjadi penantian yang menggembirakan. Bukan penuh ketegangan.

 



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima