Perlawanan Banal

Djadjat Sudradjat Dewan Redaksi Media Group
15/2/2019 05:30
Perlawanan Banal
()

SYAHDAN, ketika Mohammad Natsir menjadi siswa Algemene Middelbare School (AMS=SMU) Bandung, ia dihina gurunya, seorang menir Belanda. Natsir yang lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO=SMP) Padang, Sumatra Barat, sesungguhnya tak buruk-buruk (amat) bahasa Belandanya. Namun, ketika bercakap-cakap, ia memang tak selancar teman-temannya dari MULO di Pulau Jawa.

Natsir yang kelak menjadi perdana menteri di masa Soekarno tak patah arang. Ejekan sang menir membuat ia terus mengasah diri, membaca dan berbicara bahasa Belanda, setiap hari. Ia pun memutuskan ikut lomba deklamasi berbahasa Belanda yang digelar sekolah setiap akhir tahun. Dengan berbusana adat Minangkabau, ia membawakan puisi Multatuli Der Bandjir. Ia menjadi juara pertama di depan gurunya yang merendahkannya itu.

Cerita perlawanan terhadap guru yang rasis di masa itu justru menjadi pupuk yang menyuburkan kebun kebangsaan bernama Indonesia. Natsir tak melawan secara fisik, tetapi secara intelektual yang berdimensi psikologis tinggi. Ia melawan dengan cara cerdas!

Cerita lain lagi soal perlawanan siswa yang penuh keberanian terjadi awal 1981. Dipimpin Ketua OSIS SMA Negeri I Porogo, Jawa Timur, Agus Dwi Naranto, beberapa orang siswa mengadu ke DPR di Jakarta. Mereka membela nasib teman sekolahnya, Agung Suseno, yang tersambar peluru Kopral Warsikun. Agus tak meninggal, tetapi tubuhnya jadi invalid, bicaranya tak tak normal. Mereka menuntut hukum ditegakkan.

Alih-alih diberi penghargaan, kepala sekolah justru ‘merumahkan’ Agus dan kawan-kawan sepulang dari Jakarta. Alasannya, mereka pergi tanpa izin. Atas pelanggaran itu mereka diserahkan kepada orangtua masing-masing untuk ‘dibina’. Siapa sesungguhnya yang perlu dibina? Ini perlawanan para siswa yang terpuji.

Bulan ini kita dihebohkan sebuah perlawanan yang sebaliknya: tercela! Seorang siswa sebuah SMP di Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur, dengan wajah penuh amarah mencengkeram kerah baju dan kepala sang guru. Siswa berpakaian pramuka itu menantang guru berkelahi. Pasalnya, si murid merokok di dalam kelas dan Nur Khalim, guru itu, menegurnya.

Kita menyaksikan adegan via video dengan rasa sedih yang dalam. Kita prihatin betapa memudar penghargaan terhadap guru. Ruang kelas belum menjadi persemaian yang subur untuk menumbuhkan laku mulia para anak didik kita. Kita sedih justru di era ketika tengah ramai dipercakapkan  pendidikan karakter dan revolusi mental.

Namun, kita beryukur, dengan tenang sang guru menghadapi ‘ujian’ itu.  Ia bergeming dari tempatnya berdiri menghadapi siswa yang berpotensi brutal. Tak terbayang jika sang guru tersulut emosinya. Mungkin baku pukul terjadi. Jika itu terjadi, kelas tak lagi menjadi lokus pencerahan, tapi menjadi cerita buram yang bisa jadi memantik dendam.

Dalam mediasi yang dihadiri beberapa pihak, Nur Khalim yang statusnya masih honorer dengan besar hati memafkan anak didiknya. Kita bersyukur karena sang guru yang bersahaja memenangi ‘pertandingan moral’  mengalahkan siswa. Sudah sepantasnya tentu, tapi ditantang siswa dengan kata-kata tak pantas, guru yang pendapatannya hanya beberapa ratus ribu rupiah itu tak mudah mengendalikan emosi. Kita puji guru berusia 30 tahun itu.

Kasus di atas bukan cerita tunggal aksi banal siswa di sekolah. Di bulan ini juga lima siswa SMP Negeri 2 Galesong Kota, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, menganiaya petugas kebersihan hingga berdarah seraya menyemburkan kata-kata tak pantas.

Awal tahun lalu, Ahmad Budi Cahyono, guru seni rupa SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur, dijemput maut karena dianiaya muridnya. Masih di awal tahun lalu di Purbalingga, Jawa Tengah, seorang siswa MTs juga menantang duel guru seraya menanggalkan seragamnya.

Contoh di atas boleh jadi hanya sebagian kecil. Ada banyak contoh lain lagi yang tak terekspos, yang bisa jadi, lebih banyak. Memang persentasenya kecil jika dibandingkan dengan siswa yang berjumlah sekitar 45 juta (SD, SLTP, SLTA). Akan tetapi, kekerasan pada guru tetaplah mencemaskan.

Padahal, survei Global Teacher Status Index 2018 menempatkan Indonesia di posisi kelima sebagai bangsa yang menganggap guru sebagai profesi terhormat setelah Tiongkok, Malaysia, Taiwan, dan Rusia. Namun, berbagai kekerasan pada guru seperti menafikan hasil survei itu.

Seperti yang sudah-sudah, setiap ada kasus kekerasan pada guru, para empunya otoritas di bidang pendidikan sibuk bicara, seraya menekankan,  "Ini harus menjadi kasus terakhir." Namun, kekerasan seperti cerita  bersambung. Institusi pendidikan, keluarga, dan agama gagal bersinergi secara padan membangun karakter siswa yang penuh etika. Terasa meluruh  dari masa ke masa.

 



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima