Petani

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
05/1/2019 05:10
Petani
()

TAHUN telah berganti, tetapi keluhan para peternak tidak berubah. Mereka mengharapkan kebijakan jagung yang lebih jelas. Harga jagung untuk pakan begitu mahal, padahal harga jual ayam potong dan telur tidak boleh melewati harga eceran tertinggi. Ketika harga ayam potong dan telur naik, satuan tugas pangan akan datang ke kandang-kandang peternak untuk memeriksa adanya dugaan penimbunan.

Memang tidak pernah akan bisa ketemu ketika bisnis didekati dengan kacamata penegakan hukum. Aparat penegak hukum karakternya pasti curiga. Padahal dalam bisnis peternakan, tidak mungkin dilakukan pe­nimbunan. Ketika ayam potong sudah waktunya untuk dipasarkan, peternak pasti akan segera melepaskannya karena ketika dibiarkan terus hidup, ayam itu membutuhkan makanan lebih banyak dan pasti semakin merugikan peternak.

Produk pertanian, termasuk peternakan dan perikanan, karakter lainnya ialah mudah sekali busuk. Penimbunan ayam potong atau telur dalam waktu lama mustahil dilakukan karena konsumen tidak suka dengan produk beku. Pilihan lain mereka harus mengolah terlebih dulu agar bisa tahan lama. Akan tetapi, itu pun membutuhkan teknologi berbeda dan umumnya tidak dimiliki oleh rata-rata peternak kita.

Mati dan hidupnya para peternak bukan lagi cerita baru. Banyak peternak gulung tikar karena harga jual tidak mampu menutupi biaya produksi. Namun, tidak sedikit yang ingin mencoba peruntungan dan mencoba untuk masuk ke dalam bisnis peternakan ayam.

Tugas pemerintah sebenarnya memberikan kepastian usaha. Kepastian usaha itu bukan hanya urusan perizinan, melainkan juga pemerintah seharusnya bisa merumuskan model bisnis peternakan berkelanjutan. Balai Penelitian Peternakan seharusnya bisa diminta untuk memetakan berapa biaya produksi ayam potong dan telur sesuai dengan kondisi harga sarana produksi yang ada di pasaran.

Petani, peternak, dan nelayan tidak pernah dilihat sebagai subjek pembangunan yang sebenarnya. Mereka sekadar disuruh berbisnis dan menanggung risiko. Ketika konsumen mengeluhkan harga produk pertanian terlalu mahal, mereka dituduh melakukan praktik bisnis yang tidak benar. Sebaliknya, ketika mereka merugi, tidak ada seorang pun yang mau peduli.

Sudah saatnya kita membangun sistem berbisnis yang lebih adil. Petani, peternak, dan juga nelayan harus kita lihat sebagai warga bangsa yang perlu mendapatkan kehidupan lebih baik. Apalagi, mereka merupakan pihak yang bisa ikut menentukan ketahanan pangan sebuah negara.

Dalam konteks peternakan, pemerintah seharusnya sadar bahwa kita mempunyai potensi besar. Kita bisa menjadi pemasok ayam potong atau telur bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, melainkan juga untuk negara-negara sekitar. Kita seharusnya bisa seperti Belanda yang menjadi pemasok telur bagi seluruh Uni Eropa.

Kalau wawasannya dibuat lebih luas, kita tidak perlu khawatir kalaupun harus mengimpor jagung untuk pakan. Kita harus berani mengakui, produksi jagung untuk pakan ternak memang tidak mencukupi. Akan tetapi, ketika jagung itu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi yang memberi nilai tambah lebih tinggi, kita seharusnya tidak perlu takut melakukannya.

Pertanian kita tidak pernah bisa berkembang karena dikelola dengan cara subsisten. Kita seharusnya berani menerapkan strategi seperti yang dilakukan Thailand. Pertanian dilihat sebagai kekuatan ekonomi negara.

Lihat cara Thailand mengelola tanaman pangannya. Pemerintah tahu bahwa harga beras yang selayaknya untuk membuat petani bersemangat terus menanam ialah US$250 per ton. Apabila harga jual petani hanya mencapai US$200 per ton, pemerintah akan membeli dengan harga US$250 per ton. Namun, kalau harga jual di atas US$250 per ton, petani dipersilakan menikmatinya.

Dengan model subsidi harga seperti itu, tidak usah heran apabila petani terpacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Produksi mereka bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan juga untuk keperluan ekspor. Thailand merupakan negara eksportir beras terbesar kedua di dunia dengan nilai ekspor sekitar US$5,2 miliar per tahun.

Indonesia sendiri sebenarnya merupakan negara agraris. Sekitar 60% penduduk kita masih hidup dari pertanian. Namun, mereka belum menjadi petani berdaya dan mampu meningkatkan kehidupannya. Kelompok miskin terbesar dari masyarakat kita hidup di sektor pertanian.

Sudah waktunya kita mengubah paradigma pembangunan pertanian dari cara subsisten menjadi berorientasi pasar. Itu harus dimulai dari cara pandang pengambil kebijakan pertanian. Arah kebijakannya harus terbuka dan berorientasi kepada permintaan pasar.

Tidak mungkin pertanian menjadi kekuatan ekonomi negara kalau dikelola seperti sekarang. Petani hanya dilihat sebagai objek dan mesin produksi semata. Kita tidak pernah mau memahami kenyataan yang terjadi di lapangan. Bahwa petani ialah homoeconomicus yang harus mampu mengapitalisasi modal agar bisa lebih berdaya dan berkembang meningkatkan produktivitas.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima