Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Belajar dari Desa Narukan, Tolak Politik Uang Demi Kerabat Gus Baha

Soelistijono
13/10/2022 13:54

Belum lama ini, tepatnya pada 2 Oktober 2022, kita disuguhkan pada peristiwa yang langka bahkan fenomenal, dari Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Sebuah miniatur makna demokrasi modern dan ideal berhasil dicontohkan oleh masyarakat Desa Narukan yang sukses menggelar pemilihan kepala desa (pilkades).

Masyarakat Desa Narukan yang sebagian besar berprofesi sebagai petani telah menjatuhkan pilihan kepada Muhammad Umar Faruq sebagai kepala desa. Lawannya adalah sang petahana, Hanik Setyawati.

Baca juga: Ketika Gus Baha Puji Gaya Ganjar Artikan Bismillah Ala Kitab Kuning

Gus Umar, begitu orang memanggilnya, yang dikenal sebagai seorang kiai, akademisi, dan juga perangkat desa, akhirnya memeroleh 1.309 suara sah, dan lawannya memeroleh 330 suara. Yang menarik, begitu penghitungan suara  selesai, Gus Umar diarak oleh para pendukungnya , dengan berjalan kaki diiringi teriakan yel-yel, duit ora payu, duit ora payu. Yang artinya uang tidak laku.

Baca juga: Pemkab Cianjur Tuntaskan Pelantikan 77 Kepala Desa Terpilih

Masyarakat Desa Narukan saat menghadapi pilkades mengaku menemukan pihak tertentu yang ingin menyuap mereka agar mencoblos lawan Gus Umar. Jumlahnya cukup lumayan hingga Rp700 ribu setiap suara.  Namun mereka juga mengaku menolak. Alasannya, jika mereka terima uang sogokan itu, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Uang yang bisa digunakan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari itu tidak ada artinya dibandingkan keinginan mereka jangka panjang yang mengharapkan desa mereka lebih maju dan makmur di bawah kepemimpinan yang baru.

Dari cita-cita mulia ini, sebagian besar warga Desa Narukan, tetap bersikukuh menjatuhkan pilihannnya kepada Gus Umar. Gus Umar sendiri merupakan adik sepupu dari KH Ahmad Bahauddin atau yang dikenal sebagai Gus Baha. Gus Umar sendiri sejauh ini mereka nilai berperilaku jujur, berintegritas, berpengalaman di pemerintahan desa, dan dekat dengan masyarakat.

Meski warga saat ini, dalam kondisi ekonomi yang masih sulit, akibat covid-19, iming-iming uang ratusan ribu itu tetap mereka tolak. Politik uang tidak menggoyahkan sikap mereka, untuk menjatuhkan pilihannya pada figur pimpinan yang sesuai dengan nurani mereka,

Baca juga: Pesan Gus Baha kepada Muzani agar Berpolitik dengan Enjoy untuk Kemaslahatan Umat

Tentu saja sikap warga yang tidak mau disogok itu, ada yang didasari atas kesadaran pribadi bahwa mereka tidak bisa dibeli. Kita juga tidak menutup mata, tentu ada kerja-kerja politik yang menyadarkan warga bahwa uang bukanlah segalanya.

Yel-yel kemenangan duit ora payu dari mayarakat Desa Narukan, jika kita tarik ke ruang perpolitikan nasional yang lebih luas ibarat sindirian yang nyata.  Pasalnya, selama ini kita mengenal dengan adanya politik uang atau serangan fajar, yang selalu terjadi di saat menjelang pemilihan umum. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Kita juga bisa buktikan. Sejauh pemilihan langsung kepala daerah yang sudah berlangsung selama ini, ada ratusan pengaduan masyarakat tentang politik uang.

Masyarakat juga sudah tahu, jika pemilu usai, seorang pemimpin yang menang karena dukungan uang, baik uang pribadi, dari bohir atau cukong, akan seketika melupakan kewajiban mereka kepada masyarakat.

Baca juga: Elektabilitas versus Kualitas Capres 2024?

Tak heran banyak kepala daerah yang ditangkap petugas karena korupsi. Bisa jadi perbuatan mereka itu untuk mengembalikan modal saat pemilu atau tentu saja sikap serakah,

Banyak juga pemimpin daerah yang korupsi memainkan proyek-proyek dengan bohirnya sebagai imbal jasa dukungan modal politik saat pemilu. Yang jelas politik uang selalu akan berimbas buruk pada pemerintahan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas.

Lihat saja, saat ini masih banyak daerah yang masyarakatnya miskin secara ekonomi dan buruk di bidang pemajuan pendidikan. Masih jarang ditemui kepala daerah yang berhasil mengubah kondisi masyarakat lebih baik, meski pilkada langsung sudah dijalankan sejak 2005.

Politik uang dalam setiap pemilihan umum, sudah saatnya untuk ditinggalkan, karena merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Baca juga: Kalah Pilkades, Inkumben Tutup Jalan Desa

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah membuat regulasi terkait pemilihan kepala daerah, dari kepala desa hingga gubernur. Bahkan pilpres.

Pada pilkades diatur dengan Permendagri Nomor 112 tahun 2014, khususnya pada pasal 30, yang melarang pemberian uang kepada pemilih. Begitupun pada pilkada, pemilu, dan pilpres.

Di regulasi tersebut, politik uang dengan jelas melanggar hukum dan ada sanksinya. Namun harus diakui, selama ini, politik uang masih terjadi di setiap pemilu.

Politik uang ibarat candu bagi kontestan, sebagai obat mujarab untuk memenangi pemilu. Padahal bagi pemilih, atau masyarakat politik uang adalah racun yang akibat buruknya, bisa dirasakan dalam jangka panjang,

Politik uang bisa membuyarkan harapan setiap warga negara untuk menuju cita-cita bangsa, mewujudkan masyarakat sejahtera yang  adil dan makmur. Tentu saja politik uang adalah musuh demokrasi yang sesungguhnya, karena mencederai hak politik warga negara.    

Fenomena Pemilihan Kepala Desa Narukan itu, ibarat oase sekaligus pesan moral yang mengingatkan kita semua bahwa apapun alasannya politik uang harus ditolak karena dampak rusak yang ada.

Penyadaran terus menerus

Banyak pengamat politik melihat praktik politik uang telah membudaya bagi rakyat Indonesia. Fenomena ini memang sangat erat kaitan dengan proses demokrasi yang ada di Indonesia selama ini, dari desa hingga ke kancah politik nasional.

Baca juga: Rapor Merah Partai Politik Era Reformasi

Di titik inilah, diperlukan gerakan penyadaran yang terus menerus oleh aktivis prodemokrasi dan partai politik sebagai lembaga yang sah menjadi peserta pemilu. Harus diakui, masyarakat kita secara umum masih sangat rentan terhadap politik uang dan hanya satu parpol di Indonesia yang sudah terang benderang mendeklarasikan diri politik tanpa mahar dalam setiap pemilu.    

Ingat, tidak lama lagi kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi, pemilu serentak pada 14 Februari 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD. Lalu, pada November 2024, digelar pemilihan 271 kepala daerah,

Kita tidak perlu malu untuk meniru, nilai-nilai kebajikan yang telah dicontohkan warga Narukan yang masih waras nenolak politik uang. Duit ora payu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya