Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
Mendengar kata PKI sampai saat ini masih menjadi momok bagi sebagian atau bahkan mungkin yang mengklaim sebagai mayoritas bangsa ini. Isu PKI menjadi langganan kontroversi setiap tahun, khususnya saat peringatan G 30 S PKI pada 30 September.
Meskipun, bila mengacu hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 1 Oktober 2021, sebanyak 84% mengaku tidak memercayai isu kebangkitan PKI yang kerap dihembuskan segelintir kelompok pada setiap September. Hanya 14% peserta yang percaya dan sisanya yakni 2% memilih untuk tidak menjawab.
Dalam survei yang melibatkan 1.220 responden itu juga mengungkap sejak 2015, persentase pihak yang meyakini bahwa PKI sedang bangkit stabil di kisaran 10% hingga 16%. Dan bila mengacu pada pilihan politik, responden yang percaya PKI sedang bangkit, mereka terafiliasi pada PKS, Gerindra dan Demokrat.
Baca juga: SMRC: Mayoritas Masyarakat Tidak Termakan Isu Kebangkitan PKI
Urusan PKI ini memang kerap diseret-seret hingga perkara persaingan politik. Banyak pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan isu tersebut baik sebagai komoditas politik jangka pendek. Isu kebangkitan PKI seakan tidak ada habisnya menjadi peluru dalam setiap kontestasi politik.
Bahkan hingga urusan ke anak cucunya hingga saat ini masih tidak bisa melepaskan dari stigma negatif. Padahal mungkin saat ini sudah generasi ketiga ataupun keempat dari orangtua, kakek, atau buyut yang dulu anggota PKI.
Mestinya semua pihak bersikap, terutama para elite politik bersikap arif untuk tidak lagi mengungkit isu yang sudah kehilangan relevansinya ini.
Untuk itulah, penting jika negara terus bergerak maju dengan memberikan kesetaraan kesempatan kepada semua warga negara yang memenuhi syarat, lepas dari apapun latar belakang agama, suku, orangtua/keturunan maupun latar belakang sosial yang dimiliki.
Keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk menghapus stigma tersebut di institusinya rasanya patut untuk mendapat apresiasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyambut baik kebijakan Jenderal Andika yang menghapus larangan keturunan PKI untuk menjadi prajurit TNI.
Baca juga: Hapus Tes Renang, Akademik, dan Keturunan PKI
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai kebijakan Andika adalah bagian dari pemulihan hak bagi keluarga korban dari peristiwa 1965-1966 silam.
"Dari perspektif korban dan keluarga korban, kebijakan seperti ini adalah bagian dari pemulihan hak korban dan keluarga korban terutama hak bebas dari stigma dan diskriminasi," ujar Beka seperti dikutip mediaindonesia.com.
Komnas HAM mendukung sikap Andika Perkasa. Menurut dia, seharusnya juga diterapkan di institusi pemerintah lainnya yang masih mendiskreditkan keluarga mantan anggota PKI.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menghapus sejumlah syarat dalam proses seleksi penerimaan prajurit, baik taruna, perwira, bintara, hingga tamtama. Keturunan mantan anggota PKI pun boleh mendaftar.
Hal itu diputuskan Andika dalam rapat penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang diunggah di akun youtube Andika, rabu (30/3).
Alasannya, kata Andika, tidak ada dasar hukum positif yang melarang keturunan anggota PKI untuk jadi prajurit TNI. Bahkan, TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 berisi tentang pelarangan PKI sebagai organisasi. Aturan itu juga melarang penyebaran paham komunisme, marxisme, serta leninisme. Bukan berarti keturunan mantan anggota PKI jadi tidak boleh mendaftar jadi tentara.
Baca juga: Ini Isi Tap MPRS tentang Pembubaran PKI
Sebuah kebijakan yang progresif bagi Andika. Pasalnya, tidak mudah untuk membuat kebijakan yang potensial memunculkan resistensi. Indoktrinasi di tubuh TNI terkait bahaya laten PKI tidak benar-benar hilang.
Karena kalau kita ingat, isu kebangkitan PKI masih kuat di TNI. Publik pasti belum lupa ketika pendahulu Andika, Jenderal Gatot Nurmantyo yang dikenal tidak kompromi terhadap PKI.
Saat TNI dipimpin Gatot, seluruh prajurit TNI wajib untuk menonton film Pengkhianatan G 30/S PKI. Bahkan hingga lengser, Gatot kerap menggelorakan isu kebangkitan PKI, bahkan ia menuding PKI telah menyusup ke jajaran TNI AD.
Mestinya, isu-isu kebangkitan maupun bahaya laten PKI ini sudah sejak lama dikesampingkan, termasuk di tubuh TNI.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos berharap keputusan Panglima TNI hendaknya menjadi terobosan baru bagi bangsa ini dalam melakukan refleksi dan rekonsiliasi terhadap peristiwa 1965.
Apalagi peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun dan mereka yang merupakan keturunan PKI dan simpatisannya saat ini merupakan generasi ketiga (cucu) dan keempat (cicit). Adalah tindakan yang irasional dan diluar perikemanusiaan apabila mereka tetap menanggung 'dosa turunan' dan diperlakukan tidak setara sebagai warga negara.
"Sudah saatnya mata rantai stigma dan banalitas diakhiri. Termasuk juga upaya untuk menjadikan peristiwa 1965 sebagai komoditas kelompok tertentu untuk menyudutkan kompetitor politiknya." kata Bonar Tigor seperti dikutip mediaindonesia.com.
Peneliti pusat politik BRIN Firman Noor memandang kebijakan Andika dengan berbeda. Ia menilai pernyataan Andika terlalu sensitif bagi sebagian masyarakat Indonesia. Seharusnya, kebijakan mengizinkan keturunan PKI menjadi tentara, tak perlu diangkat ke publik.
Menurutnya, situasi sekarang belum kondusif, sehingga pernyataan Andika menambah kegerahan kondisi politik. "Maksud Panglima saya bisa mengerti. Tapi timing-nya tidak pas," ucapnya seperti dikutip mediaindonesia.com.
Akan tetapi, bukankah dengan dibuka ke publik, justru transparan untuk menjadi diskursus.publik akan bisa menyuarakan pendapatnya, baik itu yang pro ataupun kontra.
Masalahnya, bukan kali ini saja pejabat di Kementerian Keuangan bergelimang harta yang tak sesuai profil penghasilannya.
Sebetulnya, kami paham bahwa Megawati memiliki maksud yang baik. Jika diperhatikan lebih seksama Megawati juga tidak keberatan dengan adanya pengajian.
Namun untuk saat ini, LaNyalla lebih baik ikut memikirkan dulu dan bertindak negarawan, bagaimana agar perpolitikan nasional saat ini berjalan kondusif
Masyarakat Desa Narukan saat menghadapi pilkades mengaku menemukan pihak tertentu yang ingin menyuap mereka agar mencoblos lawan Gus Umar.
Artinya, Prabowo bisa mencatat sejarah baru bagi Indonesia karena merupakan kali keempat ia menjadi calon presiden.
Kalau membandingkan dengan biaya Ibu Kota Nusantara, juga sangat besar anggarannya. Mengapa pula mengutak-atik soal biaya pemilu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved