Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
PERKAWINAN anak merupakan suatu fenomena sosial yang patut mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak. Implementasi peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum yang diharapkan mampu mengendalikan praktik perkawinan anak, seringkali dinilai kurang efektif karena harus berhadapan dengan berbagai tradisi, adat istiadat serta hal-hal lainnya yang ikut memengaruhi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan data dari BPS 2018, 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Diperkirakan angka perkawinan anak pada tahun tersebut mencapai 1.220.900 kasus, yang membawa Indonesia menempati posisi ke-10 negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Berbagai upaya pencegahan dilakukan namun penurunan angka perkawinan anak masih relatif kecil yaitu 3,5% dari tahun sebelumnya.
Meskipun tren perkawinan anak di Indonesia menunjukkan penurunan dengan angka yang rendah, namun hal ini berbanding terbalik dengan fenomena pengajuan permohonan dispensasi perkawinan selama tiga tahun terakhir. Berdasarkan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Mahkamah Agung Tahun 2020, pascadisahkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi lonjakan hingga lebih dari 250% yaitu mencapai angka 64.196 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan di seluruh Pengadilan Agama di Indonesia.
Data tersebut kemudian menjadi diskursus tersendiri dikarenakan spirit revisi UU Perkawinan adalah untuk menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Namun saat regulasi tersebut telah efektif diberlakukan, angka permohonan dispensasi perkawinan justru melonjak tinggi dan 95% di antaranya dikabulkan oleh hakim.
UU Nomor 16 Tahun 2019 dapat dikatakan cukup memberikan keadilan dibandingkan UU sebelumnya yang dianggap kurang memadai dan diskrimitif terhadap anak perempuan. Itu karena batas usia minimal untuk melakukan perkawinan ditentukan berbeda antara laki-laki dan perempuan, namun belum cukup menjadi senjata pamungkas untuk menangani perkawinan anak yang terjadi di Indonesia.
Meskipun demikian, meningkatnya angka permohononan dispensasi perkawinan setelah diberlakukannya UU Perkawinan yang baru, bukan berarti UU ini lebih buruk dibandingkan dengan UU sebelumnya. Adanya perubahan ketentuan batas usia minimal untuk perempuan dalam UU Perkawinan yang tadinya 16 tahun menjadi 19 tahun, menyebabkan calon mempelai perempuan pada usia antara 16-19 tahun yang tadinya tidak memerlukan dispensasi kawin, kini harus mengajukan permohonan dispensasi agar dapat melangsungkan perkawinan. Hal inilah yang kemudian membuat jumlah pengajuan dispensasi perkawinan di Indonesia meningkat.
Pengaruh pandemi
Selain itu, UU ini mulai diberlakukan secara efektif beberapa bulan sebelum masuknya virus covid-19 di Indonesia. Kondisi ekonomi keluarga yang menurun di masa pandemi juga memberikan pengaruh yang besar. Tidak sedikit orangtua yang menikahkan anaknya untuk meringankan beban keluarga. Hal ini jelas bukan merupakan solusi yang tepat seperti yang diharapkan.
Perkawinan anak justru membuat rantai kemiskian terus berlanjut. Pada akhirnya, perkawinan anak yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarga justru menjadi sumber penderitaan bagi anak, baik secara fisik, psikis, hingga kesejahteraan sosial.
Penyebab lainnya yaitu banyak anak dan remaja menggunakan gawai secara berlebihan dan mengakses berbagai informasi di internet tanpa pengawasan orangtua. Pergaulan bebas yang tak terkendali juga dapat diasumsikan sebagai permasalahan yang melatarbelakangi pergaulan bebas yang berujung pada pernikahan dini.
Sejalan dengan fenomena tersebut selama masa pandemi, lebih dari 20% pengajuan permohonan dispensasi perkawinan pada 2020 di banyak Pengadilan Agama di Indonesia dilatarbelakangi kehamilan di luar nikah.
Dibutuhkan kerja sama dan komitmen dari semua kalangan untuk menghadapi hal ini, baik itu dari orangtua, masyarakat, tokoh agama, pemerintah, hingga hakim yang menerima permohonan dispensasi perkawinan. Sosialisasi mengenai perubahan batas usia perkawinan anak merupakan hal yang penting. Akan tetapi yang juga perlu diutamakan adalah memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat mengenai konsekuensi perkawinan anak dalam berbagai aspek.
Mengenai pemberian dispensasi perkawinan, hakim diharapkan melakukan interpretasi yang mendalam serta mempertimbangkan berbagai hal yang krusial mengenai kesiapan anak laki-laki maupun perempuan yang hendak menikah. Faktor kesehatan, mental, kesiapan ekonomi dan pendidikan perlu untuk diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar dipensasi kawin tidak semata-mata menjadi proses formalitas yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan usia anak.
Dispensasi perkawinan harusnya menjadi filter pengendali praktik perkawinan anak di Indonesia. Di sisi lain supaya perkawinan anak tidak dijadikan sebagai solusi paling mudah untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam keluarga dan masyarakat.
KEMENTERIAN Agama mengajak mahasiswa menjadi agen dalam upaya pencegahan perkawinan anak yang jumlahnya masih tergolong tinggi di Indonesia.
Merayakan Hari Anak Nasional, kita dihadapkan dengan realitas berbagai masalah kelam bagi anak.
Untuk menuntaskan masalah itu perlu dilakukan upaya edukasi agar anak tidak melakukan perkawinan dini.
Angka perkawinan anak terus menunjukkan tren penurunan
Angka perkawinan usia anak di sejumlah daerah di Kamboja masih tinggi dengan penyebabnya yakni pendidikan, budaya, dan status ekonomi.
Upaya untuk menekan angka perkawinan anak menjadi sorotan penting dalam proses pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan berdaya saing di masa depan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved