Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Cara Empat Seniman Kritisi Krisis Sosial Ekologi

Arnoldus Dhae
01/12/2020 08:02
Cara Empat Seniman Kritisi Krisis Sosial Ekologi
Empat seniman berbagi cerita mengatasi krisis ekologi dengan berkesenian(MI/Arnoldus Dhae)

EMPAT seniman dari beberapa daerah menempuh cara dalam mengatasi krisis sosial ekologi melalui kegiatan budaya. Mereka adalah Cokorda Sawitri di Bali, Slamet Diharjo di Banyuwangi, Jawa Timur, Mila Rosinta di Yogyakarta, dan Iqbal H. Saputra di Belitung, Provinsi Bangka Belitung.

Mereka berbagi cerita tentang kegiatan inspiratif dan perjuangan mereka pada webinar digelar oleh The Samdhana Institute dengan tema  Mengatasi krisis sosial ekologi melalui pendekatan seni budaya dan inklusi sosial, Senin (30/11).

Cokorda Saotri atau Cok Sawitri, seniman, sastrawan dan aktivis perempuan Bali ini mengatakan kolapsnya Bali bukan karena pariwisata melainkan masalah air.

"Orang lupa, salah satu hal yang membuat Bali akan kolaps itu bukan pariwisata seperti sekarang, yang bikin colaps itu nanti air," ujarnya.

Dan di Bali masalah air jarang dibicarakan, sebaliknya sampah cukup gencar dibahas.

"Sumur resapan di pantai itu rasanya sudah payau, pemerintah tidak mau riil melihat. Kita punya cadangan air tanah hanya satu di Jembrana, banyak persoalan air," ujarnya.

Menurut Cok, krisis sosial ekologi sangat besar mempengaruhi caranya berkesenian dari dulu. Sebagai seniman ia memegang teguh sikap independen dan seni teaternya adalah melawan. Karena itu ia menyadari tidak akan mungkin mendapatkan tepuk tangan dari sikap kritisnya terkait kebijakan sosial ekologi.

Sedangkan Slamet Diharjo, seniman tari dari Banyuwangi, Jawa Timur memilih menjadikan lahan sawah warisan ibunya menjadi sanggar seni.  Dengan mendirikan Sawah Art Space, sanggar seni ini dijadikan sebagai ruang belajar seni budaya bagi anak-anak dan pemuda kampung.

Sebelum membuka Sawah Art Space, ia terinspirasi dari sanggar lain di Banyuwangi, yaitu mengajar tari kepada anak-anak dengan membayar pendaftaran.

"Misalnya per anak itu Rp5 ribu, tapi di desa saya itu enggak bisa, enggak tercapai sampai Rp100 ribu, akhirnya saya sadar apa arti uang itu bagi saya," kaat seniman asal Desa Kemiren yang menjadi desa wisata adat Osing.

Akhirnya Syamsul sapaan akrabnya  memilih mendirikan Sawah Art Space yang semata-mata untuk membentuk komunitas seni dan mengajar anak-anak di desanya berkesenian dengan gratis. Ia beruntung ada sekitar 30 seniman di Banyuwangi yang bersedia ikut dengannya melakukan kesenian tanpa pamrih.

Sementara Mila Rosinta Totoatmojo adalah penari profesional pemilik Mila Art Dance di Yogyakarta sejak 2012. Pada 2015 ia membuka Mila Art Dance School yang kini sudah mengajar lebih 3 ribu siswa untuk beragam genre tari. Mila membuka workshop khusus tari inklusi untuk kaum difabel. Itu pekerjaan tidak mudah yang membutuhkan persiapan yang matang.

baca juga: Di Tengah Pandemi, Perajin Sarung di Tegal Terus Berinovasi

Pembicara lainnya adalah Iqbal H. Saputra, seniman muda yang memilih pulang kampung ke Belitung pada 2018 setelah merantau di Yogyakarta selama 14 tahun. Lulusan pascasarjana di salah satu universitas di Yogya tersebut mendirikan Yayasan Pusat Studi Kebudayaan Belitung. Iqbal menyatukan seniman lokal dan mengajar anak muda belajar sejarah, sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui kegiatan seni-budaya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya